Dosen Fakultas Hukum Unihaz, Rendra Edward Fransisko, Foto: Dok
Interaktif News – Polemik masa jabatan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjadi perbincangan hangat lantaran disebut banyak pakar hukum tidak bisa kembali maju dalam ajang Pilgub Bengkulu tahun 2024 mendatang pasca-PutusanMK Nomor 2/PUU-XXI/2023. Rohidin disebut sudah terhitung 2 periode menjadi gubernur sehingga tidak lagi memenuhi syarat menurut UU.
Namun, pandangan berbeda disampaikan akademisi Unihaz, Rendra Edward Fransiko. Ia mengatakan, hak-hak konstitusional Rohidin Mersyah untuk kembali maju calon gubernur 2024 terbuka dan tidak dianulir oleh Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut tidak membuat norma baru apalagi didalilkan sebagai penghambat Rohidin untuk kembali maju sebagai calon gubernur.
“Putusan itu berlaku bagi siapa saja yang mengalami peristiwa hukum yang serupa dengan Rohidin Mersyah. Artinya bukan soal pembelaan hak-hak politik seseorang tapi kepastian hukum bagi siapa saja yang ingin kembali maju dengan peristiwa hukum yang sama. Amar putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 menyatakan menolak seluruh dalil pemohon yang artinya tidak ada norma baru dalam putusan tersebut” kata Rendra.
Dijelaskan Rendra, dalam pertimbangan putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023, MK hanya menguatakan putusan MK sebelumnya yakni Putusan Nomor 22/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor Nomor 67/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa satu periode jabatan adalah 2,5 tahun menjabat atau lebih yang dihitung sejak menjalankan tugas, kewenangan, kewajiban kepala daerah sebagaimana UU Pemerintahan Daerah. Bukan dihitung sejak melaksanakan tugas jabatan kepala daerah.
“Kalau hal ini dihubungkan dengan peristiwa hukum Rohidin Marsyah yang menggantikan Ridwan Mukti di tengah jalan maka tugas, kewenang dan kewajiban kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam UU Pemerintah Daerah baru dijalankan Pak Rohidin sejak tanggal 10 Desember 2018 atau baru 2 tahun 41 hari. Dengan demikian Pak Rohidin masih bisa maju Pilkada 2024 karena sisa masa jabatan yang dijalani masih kurang 2,5 tahun sehingga tidak dihitung 1 priode“ kata Rendra.
Lebih lanjut dijelaskan Rendra, berkaitan dengan pertimbangan MK dalam putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023 yang tidak membedakan secara tegas antara masa jabatan bagi yang menjabat secara “definitif” maupun “penjabat sementara” perlu dipahami secara seksama. Rohidin tidak pernah berstatus sebagai “Penjabat Sementara” melainkan pernah menjadi “Pelaksana Tugas” gubernur. Frasa “Pelaksana Tugas” dan “Penjabat Sementara” adalah dua terminologi jabatan yang berbeda.
“Pelaksana Tugas” adalah seseorang wakil kepala daerah yang menduduki jabatan bupati sementara ketika kepala daerah difinitifnya berhalangan sementara. Sedangkan “Pejabat Sementara” adalah seorang yang ditunjuk untuk menduduki jabatan kepala daerah disebabkan kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang menjalani cuti kampanye.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Permendagri Nomor 1 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Permendagri 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota.
“Rohidin tidak pernah menduduki jabatan sebagai Penjabat Sementara sebagaimana dimaksud dalam Permendagri tersebut. Sehingga pembatasan yang dimaksud dalam Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023 tidak mungkin berhubungan dengan kondisi jabatan yang pernah diduduki Rohidin sebagai Pelaksana Tugas” urai Rendra.
Pelaksana Tugas tidak dilantik karena tidak ada ketentuan yang mengatur sebagaimana dimaksud dalam PP No. 49/2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Jika tidak dilantik artinya tidak ada batas untuk menghitung limit masa jabatan tersebut.
Dengan demikian kata Rendra terminologi Penjabat Sementara dengan Pelaksana Tugas haruslah dipisahakan karena bukan jabatan yang serumpun baik secara fungsional maupun secara formal. Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 memang tidak menegaskan perbedaan antara keduanya karena telah tertuang dalam putusan sebelumnya yakni putusan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 67/PUU-XVIII/2020.
Apabila terminologi Pelaksana Tugas dipaksakan masuk dalam rumpun Penjabat Sementara maka putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan putusan-putusan sebelumnya. Faktanya, dalam pertimbangan putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023 justru menguatkan Putusan Nomor 22/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 67/PUU-XVIII/2020. Seluruh putusan tersebut tegas menyatakan bahwa satu periode jabatan adalah 2,5 tahun menjabat atau lebih yang dihitung sejak menjalankan tugas, kewenangan, kewajiban kepala daerah sebagaiamana dimaksud UU Pemerintahan Daerah.
Lebih tegas dijelaskan Rendra, putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 harus dipahami secara konstruktif karena seluruh pertimbangan dalam putusan tersebut merujuk pada putusan-putusan sebelumnya yang sejalan dan saling menguatkan. MK justru konsisten dengan pendapatanya yakni tidak ada tafsir lain menganai frasa periodeisasi masa jabatan sesuai dengan UU yakni sejak ia menjalankan tugas, kewenang dan kewajiban kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam UU Pemerintah Daerah.
“Putusan MK itu harus harus diurai secara konstruktif dengan menghindari frasa-frasa parsial yang kemudian membuat bias makna sehingga masyarakat justru dibuat bingung. Apalagi penjelasan yang seolah-olah memiliki kebenaran mutlak. Ini harus dihindari karena ruang untuk mengemukan argumentasi tidak boleh dibatasi dengan penjelasan yang bersifat doktrinatif” kata Rendra.
Terakhir kata Rendra, sebagai refrensi yuresprudensial, situasi hukum yang terjadi pada Rohidin Mersyah serupa dengan apa yang dialami Bupati Bome Bolongo, Hamim Pou yang pernah digugat ke MK karena masalah periodeisasi jabatan. MK justru menolak gugatan yang meminta agar menyatakan Hamim Pou tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon bupati. Secara rinci kasus Hami Pou ini tertuang dalam putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 yang kemudian juga menjadi rujukan juga dalam putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023.
“Intinya MK Nomor 2/PUU-XXI/2023, MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Nomor 22/PUU-VII/2009 adalah satu kesatuan yang utuh. Harus dipahami secara konstruktif berjenjang agar tidak bias tafsir sehingga berpotensi mengadili hak-hak konstitusional seseorang warga negara sebelum waktunya. Apabila konteksnya pilkada maka secara faktual KPU-lah yang berhak untuk menyatakan seseorang memenuhi syarat atau tidak sebagai calon kepala daerah. Hukum tidak boleh dijadikan alat framing dengan tafsir kebenaran sepihak” tutup pengasuh mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan MK, Fakultas Hukum Unihaz ini.
Reporter: Irfan Arief