Menuju ’Surga’ di Samudra Hindia

Pulau Tikus

Salah satu sudut pantai di Pulau Tikus, Foto: Alfridho Ade Permana/Bengkuluinteraktif.com

Pagi yang cerah, berbekal perlengkapan Snorkeling dan bungkusan makanan, hari ini kami akan menjajal sebuah pulau kecil di pinggiran Samudra Hidia, Pulau Tikus. Sebuah Pulau yang masuk wilayah administratif Kota Bengkulu, tepatnya sekira 8 Mil laut dari arah barat Pantai Jakat. Pulau Tikus akhir-akhir ini juga ramai diperbincangkan sebagai tujuan wisata baru di Provinsi Bengkulu. 

Jauh sebelum itu, pulau ini juga akrab disebut bukan karena keindahan tapi terancam hilang karena abrasi. Ancaman itu bertambah, saat perairan Pulau Tikus dijadikan transhipment angkutan batu bara. Aktifitas itu disorot banyak kalangan mulai dari nelayan, penggiat lingkungan hingga pemerintahan yang gusar dengan aktifitas itu. Transhipment batu bara disebut merusak Trumbu Karang. Nelayan pun terganggu karena kebisingan kapal tongkang yang hilir mudik.

Itu kisah lama yang belum usai. Kami ingin memulai kisah perjalanan ini dari tepat pukul delapan pagi waktu Indonesia sebelah barat. Kami mengawali dengan berkumpul di spot yang sebelumnya telah di tetapkan pemilik jasa angkutan wisata. Aturan ini dibuat sendiri oleh pemilik jasa angkutan karena belum ada Dermaga khusus tempat kapal bersandar, baik untuk nelayan atau wisatawan seperti kami. 

Spot-nya bisa saja berubah tergantung pasang-surut air laut. Kebetulan pagi itu, spot yang ditentukan pihak jasa wisata berada di daratan buatan yang dikembangkan oleh kampus UNIB dan sebuh komunitas pencinta lingkungan, LSM Latun. 

Komunitas Latun diinisiasi seorang aktifis lingkungan bernama Dedi. Nama Latun diambil dari sebutan lokal dari binatang laut, Penyu. Dedi adalah pemuda asli dari Bengkulu Selatan yang dalam bahasa daerahnya Penyu disebut Latun. Namun Latun dalam makna resmi, menurut Dedi adalah akronim dari Lestari untuk Alam dan Lingkungan (LATUN) keren kan? Sebuah nama hasil kombinasi dari kearifan lokal dengan tujuan dari nama itu.

Uda kemana-mana, posisi kami belum juga beranjak. Kami masih sibuk dengan sarapan nasi uduk plus teh hangat yang kami pesan dari pedagang sekitar sembari menunggu kapal. Ok kapal itu tiba, awak kapal namapk melambaikan tangan pertanda untuk naik. Kami pun bergegas sambil mengenakan pelampung. Bayang-bayang kami pun mulai menerawang akan indahnya Pulau Tikus, penuh gembira.

Sebagian dari kami perempuan yang merupakan peneliti dari UNIB. Perempuan mendapat prioritas untuk duluan menaiki kapal sedangkan kami yang terdiri dari Aku, Doni, Edo, Dedi, Yuda, Andi, dan Arul dan penumpang laki-laki lain harus mengantre. 

Malang pun menghampiri, bayangan pesona keindahan itu pun seketika hilang. Arus berubah surut, kapal pun kandas. Secepat itu pula seorang awak kapal tersenyum 'ramah' ke arah kami. Mukanya penuh makna yang langsung kami artikan sebagai instruksi untuk turut serta menjadi ABK. Kami pun bergotong royong mendorong kapal minus kaum hawa yang menyemangati kami dari atas kapal. 

Pulau Tikus

Arus air laut semakin surut, kapal masih kandas. Kami menunggu ombak naik agar kapal bisa didorong. “Siap-siap, pas ombak besar langsung dorong” ujar Pak Fendianto yang hari itu rangkap jabatan, Nahkoda sekaligus ABK. Dum…ombak besar menghantam, kapal pun berputar 90 derajat. Diikuti bunyi retakan yang membuat posisi kapal melintang dari arah samudra. Sontak harapan belayar kami pun ikut pupus. 

Kulirik jam tangan, menujuk pukul 10 kurang 10 menit, tepat satu jam kami berkutat dengan kapal naas ini. Namun kami tak patah semangat. Cerita keindahan Pulau Tikus satu-satunya yang ada di benak kami walaupun tubuh penuh keringat. Hitung-hitung olahraga pikirku, menyemangati diri.  

Pasang yang ditunggu pun tiba, “dorong-dorong, Yudi jangkar, Jangkar-jangkar Yud, tarik-tarik, cepat” teriak Sang Nahkoda. Bayangan keindahan itu pun kembali tumbuh. Kapal terdorong dengan cepat kearah samudra, diikuti dengan instruksi naik dari Sang nahkoda. Kami pun meloncat sebagian melewati tangga naik. Deng-deng-deng-deng…mesin kapal keluaran pabrikan Suzuki itu mulai dihidupkan, kami pun lega. Ingin rasanya berteriak “Takbir” andai ini forum pengajian, "Alhamdulilah” pun terucap, kami pun mulai berlayar. 

Badai, Muntah dan ‘Surga’ 

Saat kapal mulai berlayar aku dan sebagian penumpang lain memilih duduk di lantai dua. Aku memilih duduk di samping Nahkoda. Oh ya, kapal yang tadi kami dorong tadi prediksiku memiliki berat tidak kurang dari 2 ton dengan panjang sekira 15 meter lebar 5 meter, lumayan besar.

Kapal kayu yang didesain untuk penumpang ini terdiri dari dua lantai. Lantai dasar untuk tempat duduk penumpang yang terbuat dari papan kayu berjejer dengan kapasitas 40 orang lebih. Lanatai tempat Nahkoda yang dirancang mirip tempat sopir mobil Jeep zaman penjajahan, Nahkoda dengan bak terbuka. Mirip juga pengendara Speed Boat. 

Deg-degan pun dimulai, perjalan yang kami tempuh setengah jam itu penuh ketegangan. Mungkin malang atau beruntung, yang jelas bagiku ini mengerikan. Sepanjang perjalanan kami harus dihadapkan dengan gelombang tinggi yang seolah ingin menghancurleburkan kapal kami. Beberapa kali terdengar teriakan histeris penumpang perempuan di lantai bawah kapal. Kengerian itu diikuti dengan bunyi kapal yang seolah-olah ingin patah. Bunyi Gesekan kayu yang mulai renggang menambah kecemasan kami. Barkali-kali pula semburan air laut menghantam muka, pertanda gelombang tinggi tak seperti biasanya.

“Biasanya nggak seperti ini” kata Sang Nahkoda mengingatkan. Pegangan kami pun semakit erat. Memang diselingi candaan dan hisapan rokok namun Aku berkeyakinan hati kecil kami semunya berdetak cemas. Seandainya diantara kami ada yang berceletuk “Sebaiknya kita batalkan,” aku menyakini opsi itu menang telak. 

Lanjut, anekdot “Jangan Melihat Tampilan” mungkin bisa dibenarkan dalam ‘skandal’ perjalanan kami. Seorang awak kapal tiba-tiba muncul dari depan sembari membenahi tali jangkar. “Ada yang mabuk” tanya kami ke awak kapal yang bertugas di lantai bawah itu. Ia pun mengacungkan jari tengah dan telunjuk “Pasukan kami siapa” kata temanku menambah tanya. “gondrong” katanya memberitahu. Tawa kami pun pecah seolah-olah mengabaikan kecemasan yang terus melingkar di sindrom otak kami. “gondorong” teriak temanku seolah tak percaya, awak kapal kembali mengangguk. 

Sudahlah aku tak mau berlama-lama soal ini karena berkaitan dengan harga diri kaum Gondrong. Sorry ya bro kode etik jurnalis tak kulanggar, cuma ciri fisikmu saja yang kusebut “gondrong”. Inisial yang harusnya YD tak kuketik.

Badai pun berlalu, laut mulai bersahabat, 'janji' keindahan Pulau Tikus seakan-akan segara ditunaikan. Anggapku, janji alam biasanya tak seperti janji politik yang langka ditunaikan. Samar-samar dari kejauhan Pulau Tikus mulai membuka ‘auratnya.’ Nampak hembusan angin menggempur pohon-pohon yang tumbuh di daratan pulau. Gelombang laut yang kami lewati pun bertambah tenang, jernih dan hijau, kapal pun mulai tenang.

“Penyu, penyu” teriak Dedi aktifis Latun yang ikut bersama kami sembari menunjuk ke arah binatang laut yang mungkin kesayangannya itu. Jarak kami dengan Penyu itu sekira 15 meter namun terlihat jelas Penyu sedang berenang karena air laut memang sangat jernih. Jangankan Penyu yang berjarak tak begitu jauh, dasar laut pun nampak dari atas kapal. Maha Besar Tuhan ingatku, Tuhan telah mencipta alam yang sangat indah, jangankan untuk dibuat manusia memandang karunia ini pun Aku seakan tak kuasa, sangat indah.

Kapal pun merapat, terlihat di pinggiran arah barat Pulau Tikus sudah ada dua kapal yang tertambat yang ukurannya lebih kecil dari kapal kami. Mesin kapal dimatikan kami diberi aba-aba pertanda boleh turun. Kejadian yang sama pun terulang, kami harus turun ke air untuk mencapai daratan, tidak tersedia Dermaga untuk tambatan kapal. Namun, kali ini kami lebih asyik karena turun ke air laut yang berkilau seperti kaca. Clup kakiku pun menginjak laut yang berdasar putih bersih, nampak ikan-ikan kecil ikut berlarian. 

Awak kapal pun bergegas melempar Jangkar ke arah pulau. Kami disambut dengan semilir angin pantai yang bermain dengan daun-daun kelapa muda yang hijau dan bersih. Kicauan burung pantai pun ikut menyambut kami, seakan ingin mengabarkan keindahan daratan kecil di tengah samudra Hindia ini. Begitu pula dengan hamparan pasir putih yang mengelilingi daratan Pulau Tikus, lebih mirip tumpukan mutiara yang menyilaukan mata. Lengkap sudah keindahan itu. Aku pun membatin tak ada rangkaian kata atau pun lantunan syair yang pantas untuk menggambarkan pesona Pulau Tikus.  

Pulau Tikus 1

Waktu menunjuk pada pukul 11.00 WIb lebih 20 menit. Kami pun bergegas ingin mencapai klimak dari keindahan Pulau Tikus, Trumbu Karang. Ya itu, dari sekian banyak kekayaan alam yang tersimpan di Pulau Tikus, puncaknya adalah Trumbu Karang yang katanya mirip Taman Bunaken di Pantai Timur Indonesia. Aku tak mau berandai-andai, saatnya membuka 'aurat' Pulau Tikus. Kami pun bersiap-siap menyusuri lekukan dasar laut di perairan Pulau Tikus. 

Sedikit untuk teman-teman, Pulau Tikus ini fungsi utamanya untuk kegiatan navigasi pantai yang dikelolah Kementrian Perhubungan. Ada 3 orang petugas yang bergantian di Pulau Tikus. Ada juga warga yang sudah menetap di Pulau Tikus namanya Bapak Fendi, hitam putih dan pahit getir tentang Pulau Tikus terekam lengkap di memorinya. 

Oh ya, aku lupa, kunjungan kami ini dalam rangka liputan khusus rencana Pemkot Bengkulu yang akan merevitalisasi Pulau Tikus. Pemkot Bengkulu berencana menyelamatkan Pulau Tikus dari ancaman abrasi. “Pulau Tikus harus dijadikan sebagai destinasi wisata baru, pusat perkonomian dan layanan masyarakat yang ramah lingkungan” kata Kepala DKP Kota Bengkulu, Syafriandi sekaligus ketua rombongan kami. Dalam misi ini Pemkot Bengkulu menggandeng Jurusan Kelautan Unib. “Revitalisasi Pulau Tikus berbasis Konservasi” begitu judul makalah yang tergelatak diatas paha seorang dosen Unib bernama Ir. Zamdial, M.SI.

Akhirnya kami pun menceburkan diri ke laut, lengkap dengan perlengkapan keamanan, Snorkling dimulai. Klimak pun kugapai. Pupus sudah rasa cemas dan kengerian saat menyeberangi lautan Samudara Hindia. Keindahan Trumbu Karang Pulau Tikus tak pantas diurai dalam kata-kata. Maha Besar Tuhan dengan segala ciptaan-Nya. “Sempurna” itulah kata yang harus kulisankan.  

Penulis: Riki Susanto