Bengkulu – Pergeseran paradigma dari pendekatan retributif menuju keadilan restoratif dalam hukum pidana modern menjadi perhatian serius dari Ammar Malik Aqil Amru, S.H, mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Bengkulu. Ia menilai bahwa arah politik hukum pidana nasional perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.

Menurut Ammar, politik hukum pidana merupakan refleksi dari kebijakan negara dalam merumuskan serta menerapkan hukum pidana. Pendekatan yang digunakan harus bersifat adaptif terhadap perubahan sosial nilai kemanusiaan serta dinamika masyarakat.

“Politik hukum pidana, sebagai cerminan dari arah kebijakan negara dalam merumuskan dan menerapkan hukum pidana, seharusnya menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman,” ujarnya.

Ia menjelaskan, kondisi sosial saat ini menunjukkan bahwa tidak semua perkara pidana layak diselesaikan melalui pendekatan represif. Kasus-kasus ringan, pelanggaran yang bersifat incidental, atau konflik sosial yang masih dapat dimediasi, idealnya diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif di luar pengadilan. Pendekatan ini, menurutnya, tidak hanya lebih efisien secara prosedural, tetapi juga lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan hubungan sosial.

“Dengan demikian, reformulasi politik hukum pidana nasional berbasis keadilan restoratif bukan hanya penting, tetapi juga mendesak,” tegas Ammar. “Paradigma ini menawarkan harapan baru bahwa keadilan tidak semata-mata diartikan sebagai penghukuman, melainkan juga sebagai proses penyembuhan luka sosial, pemulihan kepercayaan, serta penciptaan ruang bagi perubahan yang sejati.”

Sebagai mahasiswa hukum yang aktif mengikuti perkembangan wacana pembaruan sistem peradilan pidana, Ammar menilai bahwa penerapan pendekatan restoratif merupakan langkah konkret menuju sistem hukum yang lebih berkeadilan dan kontekstual. Ia memandang, keadilan restoratif dapat menjadi solusi atas berbagai persoalan klasik dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, seperti penumpukan perkara, overkapasitas lembaga pemasyarakatan, dan ketimpangan perlakuan terhadap pelaku dari berbagai latar sosial.

Lebih lanjut, Ammar menekankan bahwa penerapan keadilan restoratif sejalan dengan semangat pembaruan hukum pidana nasional yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan konstitusi. Reformasi ini diharapkan dapat memperkuat legitimasi hukum nasional di mata masyarakat, karena keadilan yang dirasakan langsung oleh korban dan pelaku memiliki nilai sosial yang lebih bermakna daripada sekadar vonis pidana.

Ia juga menyoroti perlunya komitmen bersama antara aparat penegak hukum, akademisi, dan masyarakat dalam menginternalisasi nilai-nilai keadilan restoratif dalam praktik penegakan hukum. Menurutnya, tanpa perubahan paradigma di tingkat implementasi, gagasan keadilan restoratif hanya akan berhenti pada tataran normatif.

“Keadilan restoratif menuntut perubahan cara pandang, dari menghukum menjadi memulihkan. Dari menyingkirkan pelaku ke arah mengembalikannya pada komunitas sosialnya. Inilah esensi dari hukum yang berkeadilan hukum yang tidak hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tetapi hukum yang berpihak pada kemanusiaan,” pungkasnya.

Sebagai refleksi, pandangan ini mencerminkan kesadaran baru di kalangan akademisi muda hukum bahwa efektivitas hukum tidak hanya diukur dari seberapa keras ia menghukum, tetapi juga dari seberapa jauh ia mampu menghadirkan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Dalam konteks itu, gagasan keadilan restoratif menjadi simbol dari kebangkitan moral hukum yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan rekonsiliasi sosial.

Penulis Ammar Malik Aqil Amru S. H, dibimbing Dosen Magister Hukum pengampu politik Hukum Pidana Dr. Herlita Eryke, S.H., M.H.