Bengkulu, BI – Terbitnya PKPU Nomor  20 Tahun 2018 yang mana salah satu pasalnya menyebutkan larangan bagi mantan koruptor untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif terus menui kontroversi. PKPU ini sebenarnya sudah lama diwacanakan oleh KPU namun baru terealisasi menjelang pendaftaran Caleg dibuka resmi oleh KPU.  

Patrice Rio Capella, mantan Sekjen Partai Nasdem yang juga berasal dari Bengkulu mengkritik keras PKPU yang baru diterbitkan oleh KPU tersebut. Menurut Rio peraturan KPU yang melarang mantan koruptor sebagi caleg adalah bentuk pembunuhan demokrasi. 

“Demokrasi itu adalah hak yang diberikan kepada rakyat, maksud saya adalah jangan membikin sebuah aturan yang bertentangan dengan UU dan mematikan prinsip dari sebuah demokrasi” Tegas Rio, pada saat menjadi narasumber di salah satu stasiun TV Nasional, Senin, (24/05/2018) 

Lebih jauh, Rio menyatakan PKPU yang melarang mantan napi koruptor untuk nyaleg adalah peraturan yang bertentangan dengan azas perundang-undangan dan melanggar hak azasi sebagi warga Negara. Hak dipilih dan memilih adalah hak tertinggi sebagai warga Negara yang diberikan oleh Negara. Patrice Rio heran dengan KPU yang tiba-tiba punya pemikiran melarang mantan koruptor Nyaleg.

Larangan koruptor mencalonkan diri sebagi anggota legislatif pada pemilu 2019 dituangkan dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Pada Bagian Ketiga, tentang persyaratan calon, Pasal 7 huruf h menyebutkan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi. 

Larangan PKPU ini juga berdampak kepada bakal calon legislatif di Bengkulu yang akan bertarung pada pemilu serentak 2019. Banyak mantan koruptor yang juga kembali berniat mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Bahkan mantan Gubernur Bengkulu, Agusrin M Najamudin yang disebut-sebut bakal maju ke DPR RI juga harus menghentikan langkahnya. Agusrin sempat terjerat korupsi dana bagi hasil pajak ketika menjabat sebagai Gubernur Bengkulu. 

Mantan terpidana GPI Gate, Sasriponi Bahrin Ranggolawe, yang jauh-jauh hari sudah menyampaikan niatnya maju sebagai caleg di Pemilu 2019 juga harus berlapang dada. Aktifis eksponen 98 ini sebelumnya sudah mendaftarkan diri di Partai Berkarya sebagai untuk calon  DPRD Provinsi Bengkulu Dapil Kota. 

Sasriponi menyayangkan KPU yang menerbitkan peraturan larangan mantan Koruptor Nyaleg. Menurutnya, KPU tidak memahami cara-cara bernegara yang menganut sistem demokrasi. 

“Dalam sistem hukum peradilan seharusnya tidak boleh seseorang disebut mantan narapidana dalam bentuk apapun, karena setelah divonis hakim dan menjalani hukuman, mereka adalah warga Negara yang kembali fitrah dan sama hak-hak dan kewajibanya dengan warga Negara yang lain” Jelas Sasriponi.

Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Dr. Elfahmi Lubis memandang apa yang dilakukan oleh KPU adalah bentuk pelanggaran terhadap hirarki regulasi yang berlaku di Indonesia. Undang-undang pemilu yang juga dikuatkan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi membolehkan mantan narapidana korupsi untuk mencaleg dengan ketentuan mengumumkanya ke publik. 

Menurutnya , PKPU yang melarang mantan napi korupsi untuk mencaleg tidak memiliki dasar hukum yang kuat sehingga bisa digugat oleh pihak-pihak yang dirugikan. Elfahmi menyarankan kepada pihak yang merasa hak-haknya sebagai warga Negara dirampas oleh terbitnya PKPU tersebut agar mengajukan gugatan. 

“Sampai dengan saat ini PKPU Nomor 20 tahun 2018 yang melarang mantan napi korupsi untuk nyaleg belum ditetapkan oleh Kementrian Hukum dan HAM untuk dijadikan aturan hukum” Jelas Fahmi

Reporter : Freddy Watania
Editor : Riki Susanto