Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas III Pulau Baai Bengkulu didampingi APBB dalam konferensi pers, Rabu, 23 Oktober 2024, Foto: Dok/Irfan Arief

Interaktif News – Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas III Pulau Baai Bengkulu menggelar konferensi pers terkait polemik kapal yang dioperasikan PT. Titan Wijaya dengan Pangkalan PS-DKP Kementerian Kelautan dan Perikanan di Bengkulu Utara.

Sebelumnya, pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan, menghentikan sementara aktivitas operasional kapal keruk pasir laut MV.MSE 42 yang berbendera Indonesia di perairan Bengkulu Utara, pada 17 Oktober lalu.

Kapal tersebut diduga telah melakukan kegiatan pengerukan pasir laut serta pembuangan di area laut, tanpa dilengkapi dokumen persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut atau PKKPRL, dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Dalam siaran persnya, Kepala KSOP Bengkulu M Israyadi menjelaskan kapal yang berada di perairan Bengkulu Utara itu merupakan kapal keruk dengan model bucket yang secara fungsi menyimpan dan membuang material.

PT Titan merupakan terminal khusus yang diberikan izin untuk kegiatan bongkar muat batu bara dan melayani kepentingan umum. Izin itu sudah diterbitkan KSOP Bengkulu sejak tahun 2022 dan berakhir nanti di Desember 2025.

“Artinya izin yang kami keluarkan sudah lengkap. Termasuk izin pengerukan serta izin dumping areanya, berikut dengan dumping area darat dan juga damping area laut. Kalau yang dilaut itu kami tentukan itu kurang lebih 7 mil dari daratan dengan kedalam laut 20 meter baru bisa melakukan pembuangan,” kata Kepala KSOP, Rabu, (23/10/2024).

Ia juga mengklarifikasikan soal tuduhan pihak Pangkalan PS-DKP yang ditujukan kepada PT Titan atas tindakan melakukan pencurian pasir laut. Menurut dia, itu tidak mungkin dilakukan oleh kapal tersebut.

“Dari sisi kami, itu tidak benar karena secara komersil pasir itu mau dibawa kemana pun lebih besar ongkosnya daripada menjualnya, karena kan jauh. Dan pasir itu siapa yang mau beli sementara disini banyak pasir. Jadi kalau itu dibilang mencuri pasir ya tidak mungkinlah,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan tindakan yang dilakukan oleh pihak KKP jelas kearah peraturan tentang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Aturan itu menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang laut wajib memiliki dokumen PKKPRL.

“Karena dari sisi KKP memang ada kewajiban dari PT Titan untuk membayar PKKPRL-nya atau dengan istilah membayar sewa laut. Karena perairan ini kan milik negara dan harus dibayar. PT Titan pun pastinya harus membayar kalau tidak akan dihentikan operasinya,” bebernya.

Sejauh ini, kata Israyadi, PT Titan juga sudah On Progress menyelesaikan persoalan ini, namun secara teknis ia tidak menyebutkan secara rinci karena bukan kewenangan pihaknya. Tetapi berdasarkan informasi yang ia terima pihak Titan sudah melakukan koordinasi lebih lanjut dengan KKP.

Terkait demikian, hal itu juga dibenarkan oleh Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara (APBB) Provinsi Bengkulu, Sutarman. Dia mengatakan sejak kasus ini berjalan, APBB sudah diminta pendampingan untuk melakukan komunikasi dengan pihak KKP.

“Memang kami (APBB) diminta ikut menyelesaikan kasus ini. Setelah kami dalami memang ada kekurangan dari Titan untuk menyelesaikan PKKPRL-nya. Dan ternyata urusan laut ini ada dua instansi yang terlibat didalam regulasinya, ada dari kemenhub yang dalam hal ini ditangani KSOP dan Kementerian Kelautan melalui KKPRL,” kata Ketua APBB.

Menurutnya, kasus ini menjadi pelajaran penting bagi pengusaha kapal lainnya. Setidaknya, kata dia, ada aturan jelas yang mengatur tentang tata ruang laut yang harus dipenuhi pengusaha-pengusaha kapal lainnya.

“Ini jelas menjadi pelajaran penting bagi kita semua, terkhusus usaha dunia laut. Saya berharap agar kita semua juga memperhatikan regulasi yang mengatur tentang tata ruang laut. Kebijakan itu jelas harus diurus di KKP,” pungkasnya.

Reporter: Irfan Arief