Tilik Bu Tejo dan Pentingnya Fikih Informasi

Bu Tejo

Bu Tedjo pemeran utama dalam Film Pendek "Tilik" yang di produksi Pemda DIY, Poto:Dok/Tangkapan Layar

Saya akhirnya rampung menonton film pendek Tilik karya Wahyu Agung Prasetyo. Saya melihat sinematografi film ini begitu luar biasa, mengambil latar pemandangan desa di Yogyakarta. Rasanya tak perlu usaha tinggi mengambil sudut kamera memotret indahnya alam di pedesaan Bantul. Rindangya pepohonan yang berjejer rapi di pinggir jalan, sempat membuat saya berpikir bahwa film tersebut adalah ajang promosi wisata provinsi DI. Yogyakarta.

Ternyata saya keliru. Saat melihat deretan ibu-ibu berada di dalam truk, tanpa masker dan berjarak (social distancing), hati saya mulai menaruh curiga: jangan-jangan film ini bercerita tentang perbincangan ibu-ibu yang menganggap enteng bahwa Covid-19 adalah konspirasi elit global. Namun, setelah menonton beberapa menit akhirnya saya mulai mengerti kalau film ini tentang ibu-ibu yang sedang bergosip.

Dalam perjalanan nilik (menjenguk) Bu Lurah ke rumah sakit, salah satu tokoh paling viral di media sosial bernama Bu Tedjo, bicara tentang Dian, seorang perempuan muda di desa. Reaksi penonton umumnya menyayangkan niat rombongan ibu-ibu tersebut menjenguk orang sakit harus disertai dengan membicarakan aib orang lain.

Topik utamanya adalah wajah rupawan Dian dan statusnya sebagai perempuan lajang. Bu Tedjo mengandalkan informasi internet untuk menjadi senjata andalan Bu Tedjo. Mendapat secuil informasi dari internet sudah cukup bagi Bu Tedjo menggunjing Dian tanpa mengindahkan informasi yang bisa dipercaya. Tokoh Dian dalam film ini seperti Malena: di mana kecantikan paras justru menjadi kutukan yang membuatnya sulit keluar dari pergunjingan orang-orang sekitar.

Tapi memang begitulah cara kerja gosip. Biasanya gosip berkembang biak sangat cepat. Lebih-lebih berkaitan dengan perilaku seseorang dan sejumlah stereotype yang melekat padanya.

Film Tilik dan Fikih Informasi

Film Tilik mengajak kita supaya selalu mengecek dan menyaring informasi yang benar. Apalagi jika informasi tersebut diperoleh dari internet. Kita tentu punya keterbatasan dalam memilah dan memilih. Inilah pentingnya panduan etika penggunaan informasi. Tujuannya jelas supaya kita bisa menghindarkan diri dari bahaya disinformasi dan misinformasi konten internet.

Dalam buku Fikih Informasi yang dirilis Majelis Tarjih dan Tajdid pada halaman 61, ada beberapa hal yang wajib diperhatikan dalam berinformasi:

Pertama, tanggungjawab dan tidak tendensius dalam menilai sebuah informasi (al-amanah wa al-nazahah fi al-hukmi). Kaidah ini mengajarkan seseorang untuk senantiasa bersikap hati-hati, proporsional, dan bertanggungjawab dalam membuat, menyebarkan maupun merespon sebuah informasi.

Kedua, cermat dalam melakukan investigasi dan mengemas informasi (al-diqqah fi al-bahtsi wa al-hukmi). Kaidah ini mengajarkan seseorang untuk bersikap cermat, kritis, dan teliti dalam memilih sumber informasi sampai pada penyebarannya pada masyarakat. Artinya, informasi yang dibangun berdasarkan fakta apa adanya dan bukan bersandar pada prasangka dan asumsi.

Ketiga,memegang teguh etika dalam menilai seseorang (altizam al-adab fi al-jarh). Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam menyampaikan informasi tidak dengan bahasa vulgar yang dibumbui dengan semangat kebencian. Penyebaran informasi dengan kebencian hanya akan mengaburkan fakta yang sesungguhnya.

Keempat, memerhatikan manfaat dan mudharat. Penting untuk bersikap lebih hati-hati dalam menerima, menyebarkan, dan merespon informasi sebelum akhirnya disesali. Spirit ini dilandasi dari semangat ajaran Islam yang mengedepankan kemaslahatan dan berusaha menghindari kerusakan.

Itulah empat kaidah normatif yang harus diperhatikan ketika berhadapan dengan suatu informasi. Seandainya Bu Tedjo membaca Fikih Informasi, paling tidak dia tak akan membicarakan Dian dengan semangat kebencian dan penuh prasangka.

Namun Bu Tedjo adalah gambaran kita sehari-hari: pengumbar aib dan penyebar hoax. Setiap saat masyarakat kita disuguhi berbagai informasi dan tafsiran-tafsirannya. Kondisi informasi yang berlebihan ini sering juga disebut sebagai gelaja infobesitas, dan bisa menjadi salah satu penyakit sosial yang senantiasa harus disembuhkan. Karenanya agar tidak terjerumus menjadi penerus “Bu Tedjo”, penting sekali untuk memerhatikan kaidah informasi dalam Fikih Informasi di atas.

Tulisan ini dikutip dari muhammadiyah.or.id. 
Penulis: Ilham Ibrahim, Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Editor: Irfan Arief