Infografik oleh Bengkuluinteratif.com
Interaktif News –Munculanya nama Sri Sutarti di Pilkada Kepahiang, Rika Yohan untuk Pilkada Bengkulu Selatan, dan Susilawati Suherman Pilkada Rejang Lebong kembali memperkaya khazanah kiprah kaum perempuan di arena pertarungan pilkada di Provinsi Bengkulu. Nama-nama tersebut diprediksi sebagai bakal calon yang akan mengisi kursi nomor satu di gelaran pilkada serentak tahun 2020.
Sebelumnya, Erna Sari Dewi dan Patriana Sosialinda (Pilwakot Bengkulu) Yenita Fitriani (Pilkada Kaur), Rosnaini Abidin (Pilkada Seluma) Diah Nurwiyanti dan Puspa Juita (Pilkada Bengkulu Utara) telah lebih dulu bertarung untuk menjadi orang nomor satu namun, nasib mereka terhenti dengan kekalahan. Sejauh ini belum ada sosok perempuan yang mampu menanggalkan catatan negatif kaum perempuan saat bertarung untuk kursi nomor satu di seluruh arena pertarungan pilkada Bengkulu.
Catatan ini berbeda dengan daerah-daerah lain yang telah mampu menampilkan tokoh-tokoh perempuan seperti Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Ririn Arumi Diany (Wali Kota Tanggerang Selatan), Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur) adalah deretan kepala daerah perempuan yang tidak hanya memenangi pilkada namun juga mampu mengisi diskursus politik di tingkat nasional.
Fenomena ini mendapat tanggapan dari peneliti Pusat Kajian Demokrasi dan Pembagunan (PKDP) Bengkulu, Taufik Hidayat, menurutnya, catatan negatif itu lebih karena faktor budaya politik di Bengkulu yang masih belum terlalu respect dengan tokoh perempuan. Kaum perempuan sering diletakan pada opsi kedua ketika dihadapan dengan instrumen politik. Sedangkan ungkap Taufik, di daerah lain justru kaum perempuan mendapat tempat tersendiri dan tidak sedikit yang berhasil meraih kesuksesan saat dipercaya menjabat kepala daerah.
“Bila kita review kebelakang, ada jejak historis RA Kartini yang mengawali kebangkitan eksistensi kaum perempuan. Sosok Kartini menjadi top lady ketika membahas kiprah kaum perempuan terutama saat mendobrak stagnasi pergerakan di kalangan wanita. Kartini adalah role model karena dia memang memiliki personaliti yang kuat baik dalam tataran keilmuan maupun kemampun. Kondisi itu berbeda dengan tokoh-tokoh perempuan yang saat ini, kebanyakan dari mereka tampil untuk melanggengkan dinasti politik, tidak seluruhnya tapi kebanyakan begitu” jelas Taufik
Ia menyebutkan sebenarnya banyak tokoh perempuan asal Bengkulu yang memang lahir karena faktor kemampuan bukan karena dinasti politik hanya saja, kehadiran mereka belum terlalu gereget sehingga selalu mengisi second space dalam mainset publik.
“Saat ini kursi legislatif kita di tingkat nasional mayoritas diisi kaum perempuan, anggota DPR RI 3 orang perempuan, ada ibu Dewi Coryati, Ibu Elva Hartati, ibu Susi demikian pula dengan anggota DPD, tokoh perempuan kita selalu mampu bersaing bahkan Ibu Eni Khairani sudah memasuki empat periode mewakili Bengkulu. Hanya saja, atmosfir pilkada dan pileg sangatlah jauh berbeda, pilkada lebih kepada soal kepemimpinan yang dalam banyak diskursus menjadi miliknya kaum laki-laki sedangkan pileg lebih cendrung pada soal representasi keterwakilan. Saya justru berharap kedepan tokoh-tokoh perempuan mampu bersaing untuk kursi nomor satu” katanya
Selain faktor budaya politik, Taufik juga mengindikasikan, ruang demokrasi di Bengkulu belum terlalu terbuka karena cendrung masih menganut politik kovensional. Ia menyebut ruang sempit pilkada tidak hanya dialami bagi kaum perempuan tapi juga bagi kalangan mayoritas misalnya soal agama tertentu, suku tertentu dan kelompok minoritas lain.
“Masyarakat kita masih cendrung bar-bar karena selalu melihat dari sisi yang bersifat praktis, misalnya saja tokoh baru akan mendapat perhatian lebih apalagi sosok tersebut misalnya datang dengan begitu wah, entah itu tokoh berbasis kekuatan ekonomi, segmen pemuda atau tokoh politik yang memang dengan sajian berbeda. Padahal dalam sistem demokrasi, pemimpin harus memiliki kearifian lokal yang kaut agar mereka tidak terkendala dengan sistem seandainya nanti memimpin” jelas Taufik
Taufik juga menyoroti demografi politik di Provinsi Bengkulu yang sangat dinamis karena memiliki wilayah yang didiami masyarakat politik yang sangat jauh berbeda.
“Saya banyak mempelajari refrensi-refrensi seputar pilkada di Bengkulu, nuansa politik yang tersaji sangat berbeda jauh, antara daerah yang satu dengan daerah lain bisa berbeda 80 derajat. Ini saya pikir menjadi kendala tersendiri bagi calon-calon kepala daerah perempuan, bisa saja kendala mobilisasi politik” jelasnya
Namun, kata Taufik, sejatinya politik tidak bisa diukur dengan secara gamblang baik teori maupun prakteknya di lapangan. Taufik menyebut bisa saja di pilkada 2020 menjadi ajang kejayaan kaum perempuan
“Saya pikir teori boleh saja diungkapkan demikian pula wacana empiris yang mungkin disampaikan karena melihat fenomena yang ada tapi ilmu politik sangatlah dinamis semua kemungkinan bisa saja terjadi, bisa saja pilkada serentak 2020 menjadi ukiran manis bagi kaum perempuan di Bengkulu” demikian kata Taufik
Reporter: Riki Susanto
Editor: Freddy Watania