Interaktif News – Sejumlah akademisi menilai PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB), pengelola Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara Teluk Sepang tidak mampu mengendalikan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas perusahaan.

Tiga dampak utama yang disoroti adalah jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) di Desa Padang Kuas Seluma, kolam pembuangan air bahang yang disinyalir memperparah pendangkalan alur Pelabuhan Pulau Baai, serta pencemaran akibat pembuangan limbah abu batubara di sejumlah titik.

Penilaian ini dikemukakan dalam hasil penelitian akademisi dari Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) dan Universitas Bengkulu (Unib) bersama mahasiswa, media, dan masyarakat terdampak, baru-baru ini.

Akademisi UMB, Ayu Wijayanti, M.Si, yang meneliti dampak sosial jaringan SUTT, menemukan warga Desa Padang Kuas mengalami tingkat kecemasan tinggi akibat fenomena petir dan gangguan listrik. Sejumlah alat elektronik milik warga sering rusak, bahkan ada warga yang tersengat listrik.

“Ruang aman dan nyaman warga Desa Padang Kuas sudah hilang sejak proyek SUTT beroperasi. Hasil penelitian menunjukkan 100 persen responden mengalami kecemasan tinggi,” ujar Ayu.

Sementara itu, akademisi Unib, Dedy Bachtiar, menyoroti dampak kolam pembuangan air bahang yang memperparah pendangkalan alur Pelabuhan Pulau Baai. Menurut dia, kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi serius.

“Seperti yang terjadi beberapa pekan terakhir, pasokan BBM dan transportasi warga Pulau Enggano terhambat akibat pendangkalan alur ini,” kata Dedy.

Selain itu, Dosen Unib, Liza Lidiawati, S.Si., M.Si, juga menemukan indikasi pencemaran air di wilayah Air Sebakul, Kota Bengkulu, yang diduga berasal dari limbah FABA. Hasil uji laboratorium terhadap enam sampel menunjukkan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) jauh melebihi baku mutu 10 mg/L.

“Air sumur galian mencatat nilai tertinggi 128 mg/L, sumur bor 32 mg/L, bahkan air genangan mencapai 192 mg/L. Ini mengindikasikan pencemaran serius,” ungkap Liza.

Akademisi UMB lainnya, Aan Zulyanto, S.E., M.Si, menyimpulkan bahwa PT TLB tidak mampu mengendalikan dampak lingkungan sebagaimana semestinya tertuang dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

“Oleh karena itu perlu evaluasi menyeluruh terhadap dokumen AMDAL untuk memastikan dampak yang diidentifikasi dapat diantisipasi,” jelasnya.

Tuntutan Warga

Pessi Apriani, warga Desa Padang Kuas, mengaku tidak pernah mendapatkan sosialisasi sejak jaringan SUTT beroperasi pada 2019.

“Kami sudah melaporkan apa yang kami alami kepada perusahaan dan pemerintah, tetapi belum ada tindakan nyata,” kata Pessi.

Warga mendesak pemerintah segera melakukan investigasi, penegakan hukum, dan pemulihan lingkungan demi keselamatan masyarakat.

Ketua Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar, menambahkan, persoalan ini menimbulkan pertanyaan serius terkait keberlakuan dokumen AMDAL maupun kepatuhan PT TLB.

“Fakta di lapangan membuktikan PT TLB tidak mampu mengendalikan dampak lingkungan. Hingga kini belum ada tindakan perusahaan untuk merespons masalah ini,” tutupnya.

Reporter: Deni Aliansyah Putra