Oleh: Rendra Edwar Fransisko*

Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan DPR RI, telah memberikan abolisi dan amnesti kepada dua tokoh nasional yaitu Thomas Trikasih Lembong dan Hasto Kristiyanto, dalam perkara yang masih berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi. Tindakan ini, meskipun dibungkus secara formal oleh wewenang konstitusional, membuka pertanyaan mendalam tentang arah penegakan hukum dan kepercayaan negara terhadap lembaga peradilannya sendiri.

Abolisi dan Amnesti Bukan Cek Kosong Konstitusional

Pasal 14 ayat (2) UUD NRI 1945 menyebut “Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Namun norma ini bukanlah cek kosong yang dapat digunakan tanpa mempertimbangkan prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Bahwa abolisi dan amnesti dapat diberikan bukan berarti mereka harus atau patut diberikan, apalagi untuk perkara yang belum mencapai putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Faktanya, dalam kasus ini, kedua tokoh tersebut masih berada dalam proses hukum. Dengan kata lain, tindakan ini secara substantif menunjukkan bahwa negara tidak memberi kesempatan pengadilan menyelesaikan tugasnya sampai tuntas, baik di tingkat banding maupun kasasi. Ini mengundang kekhawatiran, apakah ini cermin ketidakpercayaan negara terhadap Mahkamah Agung dan seluruh sistem peradilan pidana nasional?

Ketika Politik Mendahului Hukum

Kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa pemberian abolisi dan amnesti ini berlangsung dalam suhu politik yang memanas. Thomas Lembong dikenal publik sebagai tokoh teknokrat yang bersuara kritis, sementara Hasto Kristiyanto adalah elite oposisi yang belakangan memberi sinyal kemungkinan merapat ke pemerintahan.

Maka menjadi wajar jika publik memaknai abolisi dan amnesti ini sebagai langkah politik rekonsiliasi atau kooptasi, bukan tindakan hukum murni. Ini membahayakan demokrasi. Karena bila abolisi dan amnesti digunakan bukan karena alasan kemanusiaan atau kepentingan nasional mendesak, melainkan karena alasan pragmatis kekuasaan, maka kita sedang menciptakan preseden berbahaya.

Hakim Dilewati, Lalu Apa Guna Peradilan?

Dengan pemberian abolisi dan amnesti sebelum adanya putusan tetap, proses yudisial terpotong di tengah jalan. Ini merendahkan fungsi lembaga peradilan, khususnya Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Bagaimana mungkin negara berbicara soal supremasi hukum, jika ia sendiri tidak memberi kepercayaan kepada badan peradilan untuk menjalankan fungsinya?

Jika pengadilan dianggap tidak mampu memberikan keadilan, maka yang dibutuhkan bukan bypass hukum, tetapi reformasi lembaga peradilan itu sendiri. Termasuk soal transparansi, akuntabilitas, integritas hakim, hingga pembenahan dalam proses banding dan kasasi yang seringkali tidak dipercaya publik.

Konsekuensi Demokrasi dan Negara Hukum

Jika setiap perkara besar bisa dipotong melalui mekanisme politik, maka peran lembaga yudisial dalam sistem demokrasi akan terus melemah. Keputusan abolisi dan amnesti ini mungkin sah secara formil, tetapi cacat secara etik dan substantif hukum. Ia membuka ruang impunitas, mematikan harapan keadilan, dan menurunkan marwah lembaga peradilan.

Negara hukum tidak boleh dikalahkan oleh logika kompromi kekuasaan. Supremasi hukum (rule of law) harus lebih tinggi dari supremasi politik.

Pemberian abolisi dan amnesti ini tidak hanya menjadi persoalan dua individu, tetapi tentang sejauh mana negara ini menghormati mekanisme peradilan yang diciptakannya sendiri. Bila Presiden dan DPR dapat memutuskan keadilan sebelum hakim mengetuk palu terakhir, maka rakyat punya hak untuk bertanya, untuk siapa hukum ditegakkan, dan oleh siapa keadilan ditentukan?

*Rendra Edwar Fransisko adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H., Bengkulu. Fokus kajiannya meliputi hukum tata negara, etika kekuasaan, dan sistem peradilan pidana.