Interaktif News – Koalisi Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) laporkan 8 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Pulau Sumatera atas dugaan kejahatan lingkungan. Laporan disampaikan kepada Dirjen Penegakan Hukum Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia.

STuEB adalah kumpulan 15 organisasi masyarakat sipil di Pulau Sumatera yang beberapa tahun terakhir memantau pengelolaan lingkungan PLTU batu bara di Pulau Sumatra. Hasil pantauan mereka dalam kurun waktu Februari-April 2025, dari 9 PLTU 8 diantaranya diduga kejahataan lingkungan.

Laporan disampaikan serentak secara online melalui kanal (https://kemenlh.go.id/) pada 5 Mei 2025. Apel Green Aceh melaporkan dugaan pelanggaran pengadaan serbuk kayu oleh PLTU batu bara Nagan Raya, Yayasan Kanopi Hijau Indonesia tentang pembuangan limbah FABA yang serampangan oleh PLTU Teluk Sepang, Yayasan Anak Padi tentang limbah FABA PLTU Keban Agung, LBH Padang tentang kualitas udara yang buruk di PLTU Ombilin, LBH Lampung dugaan pelanggaran pengeloalan FABA PLTU Sebalang.

Kemudian Sumsel Bersih tentang kerusakan sumber mata air bersih akibat pemindahan dan penutup aliran anak sungai Niru serta rusaknya hutan Bukit Kancil, Lembaga Tiga Beradik Jambi tentang kerusakan anak Sungai Ale dan Tembesi akibat limbah Faba PLTU Semaran, dan Yayasan Srikandi Lestari tentang pencemaran laut dan udara di PLTU Pangkalan Susu.

Di wilayah Bengkulu, FABA dibuang ke tiga lokasi yang merupakan daerah banjir di 2 lokasi dan merupakan rawa tempat resapan air tanah di 1 lokasi. Di tiga lokasi ini tidak menggunakan lapisan kedap air yang bertentangan dengan Permen LHK Republik Indonesia No 19 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Non Bahan Berbahaya Dan Beracun.

Dari hasil pemantauan di PLTU Ombilin yang telah dilakukan oleh LBH Padang, pelaporan terkait dengan kondisi air, kualitas udara yang tidak baik, dan kebisingan akibat aktivitas PLTU yang diduga melanggar aturan Permen LHK Nomor 15 Tahun 2019 dan Pasal 53 ayat (1) dan (2) Pasal 69 ayat (1) UU PPLH.

PLTU Nagan Raya 1 & 2 melakukan co-firing dengan serbuk kayu yang berasal dari hutan produksi terbatas (HPT) yang berada di Desa Alue Rambot dan dipasok oleh PT Kurma Karya Global dan PT Palma Banna Mandiri. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang membuat kehilangan keanekaragaman hayati, erosi tanah dan banjir karena hutan gundul.

Pemantauan pengelolaan lingkungan PLTU Keban Agung di Lahat menemukan ketidakpatuhan pengelolaan FABA antara lain pengangkutan FABA tidak mengunakan terpal dan pembuangan FABA dilakukan dekat Sungai Kahang.

Di PLTU Pangkalan Susu, Yayasan Srikandi Lestari melaporkan terkait dengan pengelolaan stockpile yang tidak ditutup yang berakibat pada penurunan kualitas udara, mencemari vegetasi, dan menimbulkan sedimentasi yang membuat aktivitas masyarakat menjadi terhambat. PLTU Pangkalan Susu diduga telah melanggar Pasal 98 dan 99 UU PPLH, Padal 95 UU Pertambangan Mineral dan Batubara, PP No. 22 Thn 2021, DAN UU No. 40 thn 2007.

Lebih rinci, laporan dari Jambi sebanyak 2 kasus, Sumsel 2 kasus, Aceh 2 kasus, Lahat 2 kasus, Bengkulu 2 kasus, Sumbar 3 kasus, Sumut 1 kasus dan Lampung 1 kasus.

Konsolidator STuEB Ali Akbar mengatakan, berdasarakan hasil pemantauan, sembilan PLTU batu bara yang beroperasi di Sumatera mulai dari Aceh sampai Lampung tidak mampu menjalankan kewajiban lingkungan yang dibebankan kepada mereka.

“Kami mengindikasikan tidak hanya 8 PLTU ini, tetapi dari total 33 unit pembangkit yang ada di Sumatra yang diperkirakan juga melakukan tindakan yang sama. Sementara di sisi yang lain, Indonesia sedang gencar-gencarnya menjalankan agenda transisi energi,” kata Ali.

Ia mengatakan, program tansisi energi untuk pembangkit yang sudah beroperasi, seharusnya diawali dengan mengontrol kewajiban lingkungan yang ketat.

Rahmat Syukur dari Yayasan Apel Green Aceh menjelaskan, program pemerintah terkait transisi energi menggunakan sistem co-firing atau pencampuran batu bara dengan bio-massa  yang memakai serbuk kayu justru mengancam hutan tersisa dan memicu perambahan hutan.

“Kami melakukan pemantauan di beberapa tempat pengambilan saudas/serbuk kayu yang diangkut ke PLTU batubara yang dioperasikan PT PLN Nusantara Power dimana kayunya diduga berasal dari kawasan hutan, baik di kawasan hutan produksi terbatas, hutan produksi maupun di kawasan hutan lindung,” kata Syukur.

Syukur menilai program transisi energi yang mengorbankan hutan bukan solusi untuk mengatasi krisis iklim tapi menjadi ancaman baru bagi masyarakat maupun iklim. Ia meminta pemerintah tegas menghentikan atau suntik mati PLTU batu bara dan beralih ke energi terbaharukan.

Alfi Syukri dari LBH Padang menjelaskan, negara wajib memastikan udara bersih dan segera memensiunkan PLTU batu bara. Ia berharap pengaduan LBH Padang harus jadi momen pembuktian akuntabilitas negara.

“Negara tak cukup hanya menerbitkan izin tapi juga wajib menjamin korporasi patuh pada standar lingkungan. Bila terbukti melanggar, berikan sanksi tegas tanpa pandang bulu. Hak atas udara bersih dijamin UUD 1945 dan UU Lingkungan Hidup. Pemerintah tak boleh membiarkan warga, khususnya di Sijantang Koto terus menghirup polusi yang mengancam kesehatan mereka,” kata Alfi.

Ia juga mengatakan jika PLTU Ombilin tak kunjung berbenah, pemensiunan dini harus dijalankan karena Menteri ESDM juga telah menyatakan bahwa PLTU Ombilin masuk daftar PLTU yang akan dipensiunkan.

“Mempertahankan pembangkit tua yang mencemari lingkungan hanya akan memperburuk krisis iklim dan membahayakan publik. Semakin cepat dihentikan, semakin besar peluang warga menghirup udara yang layak dan semakin cepat krisi iklim teratasi,” kata Alfi menambahkan.

Direktur Yayasan Anak Padi Lahat, Syahwan mengatakan, laporan ini sebagai bentuk keprihatinan atas indikasi kuat bahwa pengelolaan limbah abu sisa pembakaran batu bara, yaitu Fly Ash dan Bottom Ash (FABA), tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan.

“Kami berharap KLH RI melalui Gakkum segera melakukan investigasi menyeluruh dan mengambil langkah sesuai peraturan yang berlaku. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar tidak ada lagi pengelolaan limbah yang abai terhadap hak masyarakat atas lingkungan hidup,” kata Syahwan.

Editor: Iman SP Noya