Oleh: Prof. Dr. Ir. Abdul Hamid., MP (Putra Bengkulu tinggal di Surabaya, Jatim) Peduli Lingkungan Bengkulu

Provinsi Bengkulu, dengan keindahan alamnya yang memukau dan kekayaan ekologisnya yang luar biasa, kini berada di persimpangan genting. Di satu sisi, hutan-hutannya masih menyimpan potensi besar sebagai penyangga kehidupan mengatur tata air, mencegah bencana, dan menopang mata pencaharian masyarakat. Di sisi lain, tekanan eksploitasi ekonomi terus menggerus paru-paru hijau ini hingga titik kritis. Jika tidak segera dihentikan, kerusakan hutan Bengkulu bukan hanya ancaman lingkungan, tetapi juga krisis kemanusiaan yang menimpa rakyatnya secara langsung. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hutan Bengkulu terus menyusut. Di Kabupaten Lebong, Bengkulu Utara, hingga Bengkulu Selatan, kerusakan hutan telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Alih fungsi lahan, pembukaan perkebunan skala besar, aktivitas pertambangan, serta perambahan tanpa kendali menjadi penyebab utama. Akibatnya, banjir bandang kini bukan lagi kejadian langka ia datang berulang, menghancurkan rumah, jembatan, dan sawah. Longsor mengintai di musim hujan, sementara di musim kemarau, sumber air mengering, lahan pertanian retak, dan masyarakat kesulitan memperoleh air bersih. Ini bukan sekadar “bencana alam”, melainkan dampak nyata dari pilihan kebijakan yang mengabaikan keberlanjutan.

Yang lebih menyedihkan, rakyat kecil petani, nelayan, ibu rumah tangga, dan anak-anak menjadi korban utama. Mereka kehilangan tempat tinggal, lahan garapan, dan akses terhadap sumber daya dasar. Biaya hidup meningkat, kesehatan terganggu, dan masa depan generasi muda terancam. Sementara itu, manfaat ekonomi dari eksploitasi sumber daya alam seperti perkebunan sawit atau tambang justru hanya dinikmati segelintir pihak. Negara dan daerah, di sisi lain, harus mengeluarkan anggaran besar untuk menangani dampak bencana yang sebenarnya bisa dicegah.

Salah satu akar permasalahan terletak pada tata kelola perizinan yang lemah dan tidak transparan. Izin usaha di sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan kerap diberikan tanpa kajian lingkungan yang mendalam atau partisipasi masyarakat. AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang seharusnya menjadi benteng perlindungan justru sering kali menjadi formalitas belaka dikerjakan oleh konsultan yang dibayar investor, sehingga netralitasnya dipertanyakan. Akibatnya, izin dikeluarkan, kerusakan terjadi, dan ketika bencana datang, pemerintah daerah dan masyarakat yang menanggung risikonya.

Padahal, dalam perspektif moral, agama, dan keadilan sosial, merusak hutan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Alam bukan milik segelintir orang untuk dieksploitasi seenaknya, melainkan titipan yang harus dijaga demi keberlangsungan hidup bersama. Islam mengajarkan bahwa bumi adalah amanah dari Allah SWT yang harus dipelihara. Masyarakat adat Bengkulu sendiri memiliki kearifan lokal yang menghormati alam sebagai bagian dari kehidupan spiritual dan sosial mereka. Mengabaikan prinsip-prinsip ini bukan hanya merugikan secara ekologis, tetapi juga melukai nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan lokal yang telah hidup selama ratusan tahun.

Maka dari itu, tindakan konkret dan berani harus segera diambil. Menurut Profesor Abdul Hamid, setidaknya ada enam sorotan penting, Pertama, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota perlu memberlakukan moratorium izin baru untuk kegiatan yang berpotensi merusak hutan termasuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan infrastruktur eksploitatif minimal selama 10 tahun. Ini bukan langkah anti-investasi, melainkan upaya memberi ruang bagi alam untuk pulih, sekaligus waktu bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan yang benar-benar berkelanjutan.

Kedua, perlu dilakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin yang telah dikeluarkan selama ini. Izin-izin yang tidak sesuai dengan tata ruang, tidak memiliki AMDAL yang valid, atau terbukti merusak lingkungan harus dievaluasi ulang dan jika perlu, dicabut. Transparansi data perizinan harus dibuka ke publik agar masyarakat dapat ikut mengawasi. Ketiga, sistem AMDAL harus direformasi. Proses kajian dampak lingkungan sebaiknya dibiayai oleh negara atau pemerintah daerah, bukan oleh pemohon izin. Dengan begitu, independensi dan integritas proses AMDAL dapat dijamin, tanpa tekanan dari kepentingan bisnis. Keempat, Provinsi Bengkulu harus beralih ke model ekonomi hijau. Hutan tidak harus ditebang untuk memberi nilai ekonomi. Melalui skema jasa lingkungan seperti perdagangan karbon, ekowisata berbasis masyarakat, atau pengelolaan ekosistem berkelanjutan kita bisa menghasilkan pendapatan tanpa menghancurkan alam.

Program-program semacam ini juga menciptakan lapangan kerja lokal dan memberdayakan masyarakat sekitar hutan. Kelima, pengawasan hutan harus diperkuat dengan teknologi modern. Penggunaan drone, citra satelit, dan sistem pemantauan terpadu bisa menjadi mata dan telinga pemerintah di lapangan. Teknologi ini memungkinkan deteksi dini terhadap aktivitas ilegal seperti pembalakan liar atau tambang tanpa izin, sehingga penegakan hukum bisa lebih cepat dan tepat. Terakhir, masyarakat adat dan komunitas lokal harus dilibatkan secara aktif sebagai penjaga hutan. Mereka adalah pemangku kepentingan utama yang paling memahami ekosistem setempat. Dengan memberikan insentif yang adil baik finansial maupun kelembagaan mereka bisa menjadi ujung tombak dalam menjaga kelestarian hutan. Model pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah terbukti efektif di berbagai daerah di Indonesia, dan Bengkulu memiliki potensi besar untuk menerapkannya.

Menyelamatkan hutan Bengkulu bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Ini adalah ujian nyata bagi kepemimpinan para pejabat daerah: apakah mereka memilih keuntungan jangka pendek yang menguntungkan segelintir orang, atau keselamatan jangka panjang yang melindungi seluruh rakyat? Bengkulu tidak boleh terus menjadi daerah yang “kaya sumber daya tetapi miskin perlindungan”. Ia berhak menjadi tanah yang lestari, aman, dan penuh berkah bagi generasi kini dan mendatang. Keputusan yang diambil hari ini akan menjadi catatan sejarah. Apakah Bengkulu diwariskan sebagai wilayah yang penuh bencana akibat keserakahan, atau sebagai contoh keberhasilan dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam? Semoga para pemimpin Bengkulu diberi keberanian, kebijaksanaan, dan hati nurani untuk memilih jalan yang benar jalan yang melindungi rakyat, menjaga bumi, dan menghormati amanah dari Yang Maha Kuasa.