Interaktif News – Di tengah meningkatnya kewaspadaan terhadap potensi bencana alam, terutama gempa banjir, longsor dan tsunami, masyarakat kerap dihadapkan pada banjir informasi di media sosial dan pesan berantai. Di satu sisi, peringatan dini sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa. Namun di sisi lain, informasi yang tidak akurat justru dapat memicu kepanikan dini akibat hoaks kebencanaan.

Fenomena ini semakin terasa ketika isu gempa besar, megathrust, atau tsunami ramai diperbincangkan di ruang digital. Informasi yang dikemas dengan narasi menakutkan, tanpa sumber jelas, sering kali menyebar lebih cepat dibandingkan penjelasan resmi dari lembaga berwenang seperti BMKG atau BPBD. Akibatnya, masyarakat sulit membedakan mana peringatan dini yang valid dan mana informasi palsu yang menyesatkan.

Relawan Masyarakat Anti fitnah Indonesia (Mafindo) Bengkulu, Iyud Dwi Mursito, menegaskan bahwa hoaks kebencanaan umumnya memanfaatkan situasi psikologis masyarakat yang sedang waspada. “Hoaks kebencanaan biasanya muncul dengan narasi mendesak dan emosional, seolah-olah bencana akan terjadi dalam waktu dekat, padahal tidak disertai data ilmiah atau sumber resmi,” ujarnya.

Menurut Iyud, kunci utama mencegah hoaks adalah meningkatkan literasi informasi publik. Ia mengingatkan masyarakat agar tidak langsung menyebarkan informasi kebencanaan yang diterima, terutama dari pesan berantai. “Pastikan informasi tersebut berasal dari sumber resmi seperti BMKG, BPBD, atau instansi pemerintah terkait. Jangan hanya percaya karena pesan itu viral atau dikirim oleh orang terdekat,” tegasnya.

Mafindo Bengkulu juga membagikan sejumlah tips sederhana untuk mencegah penyebaran hoaks kebencanaan. Pertama, selalu periksa sumber informasi dan tanggal rilisnya. Kedua, bandingkan dengan informasi dari kanal resmi pemerintah. Ketiga, waspadai judul provokatif yang memancing ketakutan. Keempat, hentikan penyebaran jika informasi belum terverifikasi kebenarannya.

Selain peran masyarakat, cara penyampaian informasi kebencanaan juga menjadi faktor penting. Informasi peringatan dini harus disampaikan secara jelas, berbasis data, dan tidak bersifat spekulatif. Penjelasan yang edukatif dan menenangkan dinilai lebih efektif dibandingkan narasi sensasional yang justru memicu kepanikan.

“Peringatan dini itu penting, tapi harus proporsional, tujuannya agar masyarakat siap, bukan panik,” tambah Iyud. Ia menilai kolaborasi antara pemerintah, media, relawan, dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan informasi kebencanaan tetap akurat dan bertanggung jawab.

Di tengah ancaman bencana yang nyata, melawan hoaks kebencanaan menjadi bagian dari mitigasi itu sendiri. Ketika informasi disampaikan dengan benar dan masyarakat semakin cerdas memilah kabar, peringatan dini dapat berfungsi sebagaimana mestinya: menyelamatkan, bukan menakutkan.

Reporter: Irfan Arief