Sukses Porwil, Sukses Bengkulu

Porwil Bengkulu

Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah

Sang proklamator Soekarno pernah bersaing menjadi tuan rumah Asian Games Tahun 1962. Ide Soekarno itu bisa disebut gila, naif dan sudah pasti dicibir karena hampir tak mungkin itu sukses. Sebab, Indonesia saat itu berada pada massa transisi, jangankan infrastruktur (uang) kedaulatan pun masih mengkhawatirkan. Namun nyali Soekarno tak surut hingga resmilah Indonesia menjadi tuan rumah pehelatan olahraga berskala internasional untuk pertama kali.

Mungkin tak pantas bila menyanding ide sang founding father dengan dinamika penyelenggaraan Porwil X yang diinisasi Gubernur Rohidin Mersyah. Soekarno dan Asian Games 62 adalah dimensi ide dalam skala nasional dan dunia karena Soekarno pemimpin bangsa sedangkan Rohidin Mersyah dengan Porwil-nya sedang berkarya dalam dimensi lokal yang mungkin sama objeknya namun berbeda frekewensi. Namun, menyanding ide keduanya bukanlah sesuatu yang tabu.

Diawal peluncuran Porwil sedemikian hebat ditolak, bahkan banyak narasi yang dibangun seolah-olah agenda regional olahraga ini akan gagal ditengah jalan. Itu tidak terlepas dengan kondisi infrastruktur dan Sumber Daya Manuasia (SDM) Provinsi Bengkulu yang sama sekali tidak balance dengan kebutuhan penyelenggaraan event olahraga berskala regional. 

Narasi negatif itu memiliki sisi benar karena Provinsi Bengkulu sejak 30 tahun terakhir tidak pernah menjadi tuan rumah event olahraga yang membutuhakan standarisasi. Provinsi Bengkulu hanya menjadi partisipan di banyak event olahraga. Apalagi  menjadi tuan rumah sekelas Sea Games seperti provinsi tetangga, Sumatra Selatan, jauh panggang dari api. Kondisi ini tidak terlepas dari persoalan APBD yang sangat terbatas dan Bengkulu yang katanya tertinggal. 

Lantas, kenapa Gubernur Rohidin sebegitu nekat menjadi tuan rumah Porwil layaknya Bung Karno yang nekat dengan Asian Games-nya? Rohidin dengan Porwil-nya memang penuh dengan tantangan, masalah, problematika bahkan cacian yang mungkin tak sehebat narasi negatif untuk Bung Karno dengan Asian Games-nya. Namun apa yang dialami Gubernur Rohidin dengan Porwil-nya sama dengan apakah yang dialami Bung Karno dengan Asian Games-nya. Ditolak dan rakyat pesimis 

Agenda resmi Porwil memang belum dimulai namun tahapan sudah berjalan dan aroma sukses itu telah semerbak. Tim sepak bola Bengkulu yang awalnya tak diperhitungan saat ini mampu memuncaki klasmen sementara Group A berkat tiga kemenangan berturut-turut. Apakah ini momentum kebangkitan sepak bola kita? Demikian pula kondisi infrastrukutur olahraga seperti Stadion Semarak dan GOR yang dulu sangat memprihatinkan kini penuh dengan nuansa kehidupan. 

Porwil-nya Gubernur Rohidin bukan hanya terminologi dari olahraga namun lebih jauh dari itu event ini adalah epistimologi dari kehidupan sosial, pembangunan, kehidupan ekonomi, toleransi, kebhenekaan dan semangat persatuan serta kehidupan demokrasi. Porwil bukan hanya membangun manusia karena ada sarana yang ikutan tersentuh. Mungkin pula Gubernur Rohidin dengan Porwil-nya sedang mereduksi ketegangan politik pasca pemilu dan jelang pilkada (politik demokrasi). Porwil juga diharapkan mampu menghasilkan pendaptan rakyat (ekonomi), Porwil ingin memicu pembangunan. Kegembiraan jelang Porwil juga telah memantik psikologis masyarakat untuk memiliki semangat membangun dan famous effect sudah pasti ditangan. 

Makna inilah yang mungkin tersirat dalam Asian Games-nya Bung Karno yang kemudian diaktualisasi melalui Porwil-nya Rohidin Mersya. Sukses Porwil, Sukses Bengkulu

Redaksi