Interaktif News – Presiden Republik Indonesia ke-2, yakni Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto kembali diusulkan menjadi pahlawan nasional. Usulan itu disampaikan Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), pakar, serta budayawan bersama 10 nama tokoh lainnya. Usulan ini menuai kontroversi karena sejumlah kebijakan dan peristiwa di era kepemimpinan Soeharto yang menjadi peristiwa kelam sejarah.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Agus Suwignyo menuturkan, Soeharto memang memenuhi kriteria dan persyaratan untuk dijadikan sebagai pahlawan nasional. Namun begitu, masyarakat tidak bisa mengabaikan soal fakta sejarah dan kontroversi presiden Soeharto di era 1965.

“Kalau melihat kriteria dan persyaratan sebagai pahlawan nasional, nama Soeharto memang memenuhi kriteria tersebut. Namun tidak bisa juga mengabaikan fakta sejarah dan kontroversinya di tahun 1965,” ujar Agus, Kamis, (17/4/25).

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional, kata Agus Suwignyo, seseorang yang diajukan untuk mendapat gelar tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan umum dan khusus. Beberapa diantaranya adalah berkontribusi secara nyata sebagai pemimpin atau pejuang, serta tidak pernah mengkhianati bangsa.

Soeharto diakui memiliki peran besar ketika memperjuangkan kemerdekaan. Sepanjang meniti karir militer, Soeharto pernah bergabung dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil merebut Kota Yogyakarta dari cengkraman kolonial. Kemudian pada tahun 1962, Soeharto naik menjadi Panglima Komando Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat.

Peran penting Soeharto di berbagai pergerakan militer membuktikan pengaruh kuat dalam kemerdekaan. “Cara pandang sejarah terhadap Soeharto ini tidak bisa hitam putih. Sebagai pahlawan nasional, tidak bisa mengabaikan fakta sejarah. Tapi tidak bisa juga mengabaikan kontribusinya dalam kemerdekaan,” papar Agus.

Dari sisi kontribusi pada kemerdekaan memang tidak ada masalah. Namun penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional akan memunculkan sudut pandang kritis, bagaimana seseorang yang pernah menjadi pemimpin dalam kejahatan HAM dan represi kebebasan pers diberi gelar pahlawan.

Oleh karena itu, Agus menyarankan perlu adanya pengkhususan dan kategorisasi jika tetap memberikan gelar pahlawan nasional pada Soeharto. “Penulisan sejarah itu harus memperhatikan konteks, ya. Jadi semisal ada kategori pahlawan nasional dalam bidang tertentu, sehingga bisa diberikan gelar namun dalam konteks dan catatan,” jelas dia.

Bukan tidak mungkin lanjut Agus, seorang tokoh pergerakan juga memiliki catatan kelam semasa hidupnya yang berdampak hingga saat ini. Jika penetapan gelar diberikan konteks dalam bidang atau periode tertentu, pengakuan terhadap kontribusi dapat dilakukan tanpa mengabaikan fakta sejarah lainnya. Penulisan dan pengakuan sejarah perlu memperhatikan sudut pandang dan konteks. Hal ini yang akan mempengaruhi penilaian publik di masa kini dan masa depan terhadap sejarah nasional.

Agus juga menegaskan bahwa kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada Soeharto. Ia menyebut Syafruddin Prawiranegara contohnya, salah satu tokoh yang dianggap ekstrim ketika menentang sentralisasi kekuasaan pada awal kemerdekaan. Perannya dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958 membuatnya dicap sebagai pengkhianat. Padahal Syafruddin merupakan tokoh penting ketika pemerintah darurat dibentuk.

“Selain itu, kita belum (memberikan pengakuan) pada berbagai tokoh-tokoh di bidang seni, teknologi, dan pengetahuan. Saya kira perlu ada kajian mengenai pahlawan nasional di luar latar belakang militer,” kata Agus.

Selain Soeharto, nama-nama lama yang kembali diusulkan adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), K.H. Bisri Sansuri (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat). Sementara itu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini yaitu Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara), dan K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur).

Editor: Iman SP Noya