‘Semua Bisa Diatur,’ Adam Malik Sang Jurnalis yang Mantan Wapres

Adam Malik

Adam Malik Batubara, Wakil Presiden Republik Indonesia Ketiga saat sesi wawancara di Studio TVRI pada tahun 1976, Poto:Dok/muspen.kominfo.go.id

Interaktif News – Tepat hari ini, 22 Juli adalah angka kelahiran yang dimiliki seseorang diplomat ulung yang mengawali karirnya sebagai wartawan. Dia adalah Adam Malik Batubara, lahir di Pematangsiantar, Sumatra Utara pada  22 Juli 1917, Wakil Presiden Republik Indonesia ketiga menggantikan Umar Wirahadikusuma untuk mendampingi Presiden Soeharto dari 23 Maret 1978 – 11 Maret 1983. 

Sebelumnya, Adam Malik pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia untuk di dua masa pemerintah yang berbeda yaitu, masa pemerintah Soekarno (Orde Lama) dan Masa Pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru).  Selain menjadi Menlu, Adam Malik juga pernah didaulat sebagai Menteri Perdagangan dari dari tahun 1963 hingga 1964, Ketua DPR RI dan Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet dan Polandia.

Berkat kepiawainnya dalam berdiplomasi pula, pada tahun 1967, Adam Malik bersama menteri-menteri negara Asia tenggara membidani lahirnya negara ASEAN. Beliau juga memiliki peran besar sebagai perwakilan diplomasi Indonesia dalam Perjanjian New York. Berkat ditandatanganinya perjanjian ini pada 15 Agustus 1962, Irian Barat bebas dari cengkraman Belanda dan kembali ke menjadi wilayah Indonesia. Selain itu, tokoh bangsa yang selalu berpenampilan klimis ini pernah terpilih menjadi Ketua Majelis Umum PBB ke-26 pada tahun 1974. Adam Malik pernah memimpin sidang umum PBB untuk menentukan status RRC di PBB. 

Adam Malik juga digelari sebagai pahlawan nasional berkat jasa-jasnya selama mengabdi kepada bangsa dan negara. Adam Malik berperan aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sebagai golongan pemuda pada masa penjajahan Jepang. Dia juga ikut serta melarikan Soekarno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, Ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Lapangan Ikada untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. 

Adam Malik hanya belajar secara formal sampai ke tingkat SMP dan tidak pernah melanjutkan pendidikannya hingga memutuskan merantau ke Jakarta. Kariernya diawali sebagai wartawan dan tokoh pergerakan kebangsaan yang dilakukannya secara autodidak. Pada masa mudanya, ia sudah aktif ikut pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, antara lain melalui pendirian Kantor Berita Antara yang berkantor pada waktu itu di Buiten Tijgerstraat 38 Noord Batavia (Jl. Pinangsia II Jakarta Utara). Sebagai Direktur diangkat Mr. Soemanang, dan Adam Malik menjabat Redaktur merangkap Wakil Direktur. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional. 

Sebelumnya, ia sudah sering menulis antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo. Tahun 1941 sebagai utusan Mr. Soemanang bersama Djohan Sjahroezah datang ke rumah Sugondo Djojopuspito minta agar Soegondo bersedia menjadi Direktur Antara, dan Adam Malik tetap sebagai Redaktur merangkap Wakil Direktur.

Adam Malik tidak hanya berkutat dengan dunia jurnalistik namun juga dikenal sebagai politis ulung. Ia adalah pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak (MURBA) yang dikenal berhaluan kiri, Ia memimpin Partai Indonesia (Partindo) Pematang Siantar dan Medan. Pada tahun 1940-1941 menjadi anggota Dewan Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta. Pada 1945, menjadi anggota Pimpinan Gerakan Pemuda untuk persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.

Usai mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, Adam Malik meninggal di Bandung pada 5 September 1984. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pemerintah juga memberikan berbagai tanda kehormatan. Atas jasa-jasanya, Adam Malik pernah dianugerahi berbagai penghargaan, diantaranya adalah Bintang Mahaputera kl. IV pada tahun 1971, Bintang Adhi Perdana kl.II pada tahun 1973.

Sebagai seorang diplomat, wartawan bahkan birokrat, dan politisi yang handal, Adam Malik sering mengatakan “semua bisa diatur”. Tapi perkataan “semua bisa diatur” itu juga sekaligus sebagai lontaran kritik bahwa di negara ini “semua bisa di atur” dengan uang. 

Dikutip dari berbagai sumber
Editor: Irfan Arief