Ilustrasi pelecehan seksual, Foto: Dok
Di era globalisasi seperti ini, kemudahan akses masyarakat terhadap konten-konten yang ada di internet makin mudah. Seluruh lapisan masyarakat memiliki akses terhadap seluruh kegiatan yang ada di Internet. Tentunya hal ini menimbulkan dampak positif dan negatif secara bersamaan. Salah satu dampak positif nya adalah mudahnya mengakses informasi secara daring, dan berbagai kemudahan lainnya.
Di sisi lain, salah satu dampak negatif dari kemudahan tersebut adalah mudahnya mengakses hal-hal berbau pornografi. Bahkan, Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian, mengungkapkan bahwa di tahun 2015-2016, salah satu situs pornografi pernah melakukan sebuah survei, dan menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua pengakses pornografi setelah India. Hal ini tentunya sangat berdampak pada peningkatan kasus pelecehan seksual di Indonesia.
Selain itu, media massa, yang seharusnya dapat menjadi sebuah “tameng” bagi para korban, justru sekarang malah memberatkan korban. Banyak sekali media-media yang melakukan penyimpangan etika terhadap korban demi berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian masyarakat, seperti mengungkapkan identitas asli korban, yang seharusnya tetap dirahasiakan untuk menjaga privasi korban itu sendiri. Pelanggaran etik lainnya, yaitu pemberitaan media seringkali tidak dalam sudut pandang korban dan diungkapkan dalam bahasa dan visualisasi yang bersifat vulgar. Tak hanya itu, seringkali juga terdapat berita-berita yang menstigmatisasi korban sebagai pemicu utama kekerasan dan penghukuman stereotip korban.
Anggota Dewan Pers, Asep Setiawan juga sudah angkat bicara mengenai hal ini. Menurutnya, kekerasan seksual sering diberitakan media dalam konteks yang kurang tepat sehingga mengarah pada bias gender. Berbagai upaya pun dilakukan untuk membenahi masalah ini, salah satunya adalah dengan cara meningkatkan kualitas perusahaan pers dan kualitas wartawan. Upaya peningkatan kualitas perusahaan pers dilakukan melalui verifikasi media, sedangkan upaya peningkatan kualitas wartawan dilakukan melalui pelaksanaan uji kompetensi wartawan. Kita, sebagai masyarakat, harus terus mendukung hal ini agar masalah ini dapat terurai, sehingga korban pelecehan seksual tidak dibebani dengan adanya pemberitaan-pemberitaan oleh media massa.
Menjelaskan etika dan perlakuan yang baik terhadap korban kekerasan seksual
Di hadapan mata orang awam, kasus kekerasan seksual merupakan topik yang menarik untuk dibahas. Akan tetapi, banyak penyimpangan serta pelanggaran kode etik yang terjadi di Indonesia perkara perlakuan pelaku kekerasan seksual di media massa. Media di Indonesia cenderung lebih berfokus kepada dramatisasi dan sensasi yang mengikuti kasus kekerasan seksual tersebut dibandingkan dengan perasaan korban. Bentuk penyimpangan media massa dalam memberitakan kasus kekerasan seksual dapat berupa penghalusan kata “perkosa” menjadi menggauli, menggagahi, menjamah, dan lain-lain seakan-akan menganggap kasus ini tidak serius dan lebih berfokus kepada pelaku yang terkadang namanya diganti menjadi nama samaran untuk menjaga privasi pelaku yang sebenarnya tidak layak mereka dapatkan.
Di lain sisi, privasi korban seakan-akan tidak mereka perhatikan dan parahnya dijadikan komoditas umum. Media massa berlomba-lomba untuk memberitakan kekerasan seksual sedetail mungkin tanpa memikirkan perasaan korban yang kesehatan mental serta fisiknya sangat terdampak oleh kejadian buruk yang mereka alami. Media massa seakan-akan mengesampingkan moralitas dan etika demi dapat menulis berita yang dapat “menjual” di khalayak umum. Kasus kekerasan seksual ini ibaratnya menjadi barang mahal yang media-media massa tak bertanggung jawab ini jadikan komoditas umum tanpa memiliki empati sedikitpun terhadap korban.
Penyebab terjadinya penyimpangan etika jurnalisme di Indonesia
Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh banyak jurnalis di Indonesia, tentu disebabkan oleh berbagai macam faktor yang terjadi. Ketua Forum Jurnalis Perempuan, Uni Zulfiani Lubis, menilai persaingan bisnis media menjadi salah satu penyebab terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik dalam peliputan kasus asusila yang melibatkan perempuan dan anak. Seringkali media menampilkan nama korban, yang merupakan privacy korban dan melanggar kode etik jurnalisme itu sendiri, karena semestinya identitas semua orang yang berkaitan dengan korban, maupun identitas korban itu sendiri, harus dirahasiakan.
Batasan itulah yang seringkali dilanggar oleh media-media di Indonesia. Dalam banyak kasus, media bersaing untuk memberikan berita yang lebih mendetail dan eksklusif, dengan cara mewawancarai orang-orang yang dekat dengan korban, bahkan keluarga korban tersebut. Hal ini dilakukan agar para masyarakat lebih tertarik untuk melihat, membaca, atau bahkan menonton suatu berita di media tersebut. Masyarakat yang diwawancarai, yang sebagian besar adalah masyarakat awam, yang tidak mengetahui konsekuensi atas apa yang mereka lakukan ketika melakukan wawancara, justru secara tidak langsung akan turut andil dalam mengungkap identitas korban, dan akan merusak masa depan korban itu sendiri.
Jurnalis seharusnya mengetahui hal itu, dan mencegah hal itu terjadi karena tidak sesuai dengan kode etik jurnalisme. Permasalahannya adalah banyak sekali media yang tidak mengindahkan kode etik tersebut. Mereka khawatir apabila mereka terlalu mementingkan kode etik di dalam menyiarkan dan mengeluarkan suatu berita, maka mereka akan kalah saing dengan media-media lainnya. Hal tersebut tentu merupakan sebuah penyimpangan, karena kode etik jurnalisme tentunya dibuat untuk dipatuhi dan dijadikan batasan oleh semua jurnalis dan media dalam membuat berita.
Apabila tadi merupakan faktor penyebab penyimpangan yang dilihat dari segi medianya, maka sekarang akan ditinjau dari segi wartawannya. Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, mengatakan bahwa gaji wartawan yang rendah merupakan salah satu penyebab utama terjadinya pelanggaran atas kode etik jurnalistik. Banyak wartawan yang menerima bayaran dengan gaji di bawah upah minimum regional dan hidup hanya dari kartu pers, membuat mereka berkecenderungan untuk membuat berita dengan asal-asalan tanpa memperhatikan kode etik yang ada dan cenderung melanggar kode etik tersebut agar mendapatkan upah yang lebih dari hasil kerja mereka.
Menurut data, sebanyak 29,1 persen wartawan berpendidikan sarjana (S1) masih menerima gaji di bawah Rp 1 juta per bulan, dan 25,9 persen lainnya bergaji antara Rp1 juta dan Rp1,399 juta per bulan. Sebagian besar wartawan di Indonesia saat ini hanya berijazah setingkat SMA, dan sedikit atau sama sekali tidak pernah mendapat pelatihan jurnalistik dan pemahaman tentang peran jurnalisme dalam demokrasi.
Akibatnya, para wartawan itu membuat berita yang cenderung merembet ke masalah pribadi seseorang, atau melakukan pencemaran nama baik dan melakukan pembunuhan karakter terhadap pelaku maupun korban. Tentu tak heran, apabila Dewan Pers menerima rata-rata 20 pengaduan dalam waktu sebulan, atau sekitar 240 hingga 250 pengaduan dalam kurun waktu setahun, yang terkait erat dengan berita-berita yang diduga melanggar kode etik jurnalistik.
Apakah yang seharusnya media lakukan?
Melihat perlakuan media massa terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia yang kurang berempati dengan korban membuat perkataan “korban kekerasan seksual menjadi korban untuk kedua kalinya ketika media massa sudah memberitakan kasusnya” menjadi seakan-akan benar. Media massa di Indonesia seharusnya lebih memperhatikan lagi mengenai etika dan moralitas yang sesuai dengan kode etik jurnalisme yang ada serta berempati dengan perasaan dan akibat yang ditimbulkan oleh kasus kekerasan seksual pada korban.
Begitu banyak penyimpangan yang terjadi di penulisan berita pada media massa yang seakan-akan memojokan korban, seperti "Naik Angkot Malam-malam, Wanita Nyaris Dicabuli si Sopir, Warga Dengar Jeritan hingga Keroyok Pelaku" (Tribunnews Sultra, 15/10/2021), “Diperkosa Sopir, Wanita Pecahkan Kaca Angkot” (Pos Kota, 14/11/2015), dan berbagai judul berita clickbait yang seakan-akan dibuat untuk menarik masyarakat untuk membaca berita yang dibuat tetapi melalui cara yang salah.
Media harus lebih berhati-hati dalam mempublikasikan kasus kekerasan seksual. Perlu untuk memegang teguh dan menaati kode etik jurnalistik dalam membuat berita mengenai korban kekerasan seksual. Media harus selalu berpihak pada korban kekerasan seksual dan menjamin privasi korban ketika mengangkat ke dalam berita yang dibuatnya. Tidak perlu berlomba-lomba membuat berita untuk mendapatkan perhatian masyarakat terutama ketika berita tersebut justru akan memberatkan korban.
Dalam menulis berita-berita kekerasan seksual, media harus selalu menggunakan kode etik jurnalistik. Oleh karena itu, perlu adanya pembenahan dalam mengelola berita-berita terkait kekerasan seksual agar tidak terjadi penyimpangan etika dalam pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan cara meningkatkan kualitas perusahaan pers dan kualitas wartawan. Dengan demikian, berita-berita yang ada akan makin berkualitas dan tidak menyimpang dari etika kode etik jurnalistik serta tidak memberatkan korban.
Penulis adalah Rasyid Prawiracakti, Muhammad Raihan, Roinil Marsel, Mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Administrasi, Jurusan Ilmu Administrasi Niaga