Pencabutan Indikator Kematian dari Asesmen PPKM, Apakah Keputusan yang Bijak?

PPKM

Foto/Dok: freepik

Pada tanggal 13 April 2020, Presiden RI Joko Widodo menetapkan coronavirus disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional. Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2020, COVID-19 ditetapkan sebagai Bencana Nonalam Nasional. Dalam menanggapi fenomena bencana nonalam nasional yang mengguncang aspek politik, ekonomi, dan sosial semacam ini, pemerintah mencetuskan serangkaian kebijakan pembatasan dan pengendalian laju COVID-19 yang dikenal dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan pada masa awal pandemi 2020, yang kemudian disusul dengan kebijakan yang kini dikenal dengan istilah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Koordinator tetap PPKM Darurat Jawa-Bali, Luhut Binsar Panjaitan, menegaskan perbedaan antara kedua kebijakan tersebut terletak pada cara pendekatannya. Pengambilan keputusan kebijakan PSBB bersifat bottom-up (bawah ke atas) yang berarti setiap daerah/provinsi bisa mengajukan penetapan PSBB yang kemudian akan disahkan oleh Menteri Kesehatan, sedangkan kebijakan PPKM bersifat top-down (atas ke bawah) yang berarti pemerintah pusat langsung menetapkan daerah-daerah yang wajib menerapkan kebijakan tersebut.

Indonesia sendiri sebenarnya telah memiliki peraturan yang dapat dijadikan acuan dalam mengatur kebijakan di tengah fenomena semacam ini, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. Pada BAB II PP Nomor 40 Tahun 1991 tertuang teknis Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Penetapan Daerah Wabah. Pasal 2 menyatakan bahwa (1) Menteri menetapkan dan mencabut penetapan daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah. (2) Penetapan dan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas pertimbangan epidemiologis dan keadaan masyarakat. Diperjelas lagi pada Pasal 4 bahwa (1) Pertimbangan epidemiologis didasarkan pada data epidemiologi antara lain angka kesakitan, angka kematian dan metode penanggulangannya. Diktum kelima Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.HK.01.07/MENKES/4805/2021 tentang Indikator Penyesuaian Upaya Kesehatan Masyarakat dan Pembatasan Sosial dalam Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID 19) juga menegaskan bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penyesuaian upaya kesehatan masyarakat dan pembatasan sosial dalam penanggulangan pandemi COVID-19 sesuai dengan indikator yang ditetapkan.

Dalam proses asesmen, terdapat setidaknya 3 indikator dasar yang digunakan sebagai tolok ukur acuan penetapan level PPKM, antara lain: laju penularan, positivity rate, dan angka kematian. World Health Organization (WHO) juga menetapkan bahwa indikator kematian harus menjadi bagian pertimbangan dan acuan pemerintah dalam menetapkan level PPKM. Namun, sempat terjadi anomali yang diumumkan melalui Konferensi Pers Evaluasi dan Penerapan PPKM, 9 Agustus 2021, bahwa dilakukan penarikan angka kematian dari indikator penentuan level PPKM. Pada periode PPKM 10-16 Agustus 2021 dinyatakan bahwa terdapat 26 kota/kabupaten yang turun dari level 4 ke level 3. Evaluasi tersebut dilakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena ditemukan input data yang merupakan akumulasi angka kematian dalam beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian. Untuk itu, artikel ini akan membahas dan menilai lebih lanjut terkait proses pengambilan dan penetapan kebijakan tersebut dari berbagai sudut pandang/pendekatan.

Keputusan pencabutan angka kematian dari indikator penetapan level PPKM ini tentu berimbas pada timbulnya berbagai perdebatan terkait tepat atau tidaknya langkah yang diambil pemerintah. Pemerintah menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil akibat adanya ketidakakuratan antara data kematian yang terakumulasi dengan data kematian yang ada di lapangan. Hal tersebut mungkin terjadi karena kendala delay dalam proses input data yang berujung pada gulungan data dengan lonjakan kasus kematian COVID-19 yang luar biasa. Padahal data tersebut merupakan gabungan dari kasus minggu-minggu sebelumnya yang artinya tidak faktual. Kominfo juga menegaskan jika indikator angka kematian tetap dijadikan acuan, efeknya dapat berimbas buruk pada terdistorsinya proses analisis kondisi suatu daerah. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk memperbaiki data dengan memisahkan data kematian real time yang terjadi pada hari itu dengan data akumulasi yang diakibatkan oleh lonjakan kematian beberapa minggu sebelumnya.

Selagi pemerintah memperbaiki data yang keliru, dicabutlah indikator kematian sebagai salah satu tolok ukur penetapan PPKM karena dinilai tidak akurat. Jika mengacu pada PP Nomor 40 Tahun 1991 dan Keputusan Kemenkes No.HK.01.07/MENKES/4805/2021, pencabutan angka kematian bisa dikategorikan sebagai penyelewengan. Pemerintah kemudian berdalih bahwa pencabutan indikator angka kematian sifatnya hanyalah sementara dan akan kembali dimasukkan dalam pertimbangan setelah proses input data sudah kembali normal. Hal ini masih dinilai etis secara perumusan dan pengambilan keputusan administratif publik karena pemerintah memang berkewenangan sebagai pengambil keputusan dan memiliki dasar dalam mengambil keputusan. Dinilai baik karena ada motivasi yang dilandasi rasa tanggung jawab untuk menyediakan informasi yang akurat bagi masyarakat.

Lagipula, pencabutan indikator angka kematian juga dibarengi dengan tambahan indikator lain sebagai penyeimbang hilangnya salah satu indikator penting tersebut. Bila sebelumnya pemerintah menggunakan tiga parameter untuk indikator penetapan PPKM, yaitu kasus konfirmasi positif COVID-19, kejadian rawat inap di rumah sakit, dan angka kematian, terdapat lima parameter baru yang kemudian digunakan sebagai pengganti. Kelima indikator tersebut adalah: Bed Occupancy Rate (BOR) di rumah sakit rujukan COVID-19, kasus konfirmasi virus, perawatan di rumah sakit, tracing, testing, dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat.

Keputusan pemerintah ini juga bisa dibenarkan bila melihatnya melalui sudut pandang diskresi. Bersesuaian dengan definisi Gayus T. Lumbuun tentang diskresi, tindakan pemerintah dalam mencabut parameter kematian dari acuan penetapan PPKM merupakan hal yang memungkinkan meski kesannya melanggar undang-undang, karena pemerintah melakukannya demi kepentingan umum. Pengambilan keputusannya pun masih dilakukan dalam batas wilayah kewenangannya dan tidak melanggar azas-azas umum pemerintahan yang baik. Toh Pandemi COVID-19 juga dinilai sebagai permasalahan baru yang dihadapi pemerintah Indonesia. Kita perlu memahami dan memaklumi karena belum adanya peraturan yang secara spesifik memberikan jawaban terkait langkah apa yang harus diambil bila terjadi kejadian yang tidak diinginkan berupa tidak validnya parameter kematian sebagai indikator PPKM karena akumulasi lonjakan angka kematian yang tak aktual. Itu sebabnya pemerintah harus ‘memutar otak’ dan mengambil keputusan yang berani dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Ditambah lagi, salah satu syarat dalam pengambilan keputusan yang etis mengharuskan pemerintah harus menggunakan data yang akurat sesuai fakta yang ada. Jika data angka kematian yang tak valid tetap digunakan dalam parameter penentuan PPKM, akan berpotensi menimbulkan output kebijakan yang kurang tepat dan dinilai kurang etis.

Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap kejanggalan blindspot dari pengambilan keputusan ini. Dilansir dari worldometers.info (2021), terhitung dari tanggal 12 Agustus 2021, jumlah kematian akibat COVID-19 di Indonesia sedang menempati angka tertinggi di dunia. Penghapusan indikator kematian dari asesmen level PPKM dapat berimplikasi fatal pada penetapan kebijakan pengendalian pandemi dan menimbulkan beberapa kontra di tengah-tengah masyarakat. Hal ini lantaran jika indikator kematian tersebut dicabut dari penilaian, artinya pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan data kematian dalam menetapkan kebijakan level PPKM.

Kita tidak bisa melupakan bahwa salah satu syarat pembuatan kebijakan yang etis adalah kebijakan tersebut harus bersifat rasional komprehensif dilihat dari segala bidang dan sudut pandang, baik secara teknis, ekonomi, hukum, sosial, dan substantif. Ahli epidemiologi, Dicky Budiman, berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk mencabut indikator kematian adalah keputusan yang berbahaya karena indikator tersebut dibutuhkan untuk melihat seberapa parah derajat suatu wabah. Menurutnya, indikator kematian akan selalu dibutuhkan untuk penyakit atau wabah manapun, terlebih di kondisi pandemi seperti sekarang ini. Ia juga menambahkan bahwa ketidakakuratan data tetap tidak boleh menyebabkan indikator tersebut dihapuskan begitu saja dan pemerintah seharusnya mampu untuk memperbaiki data yang salah tanpa menghapuskan indikator tersebut. Hal ini tentu bertolakbelakang dengan syarat pembuatan suatu kebijakan yang etis, di mana kebijakan harus bersifat rasional dan komprehensif.

Epidemiolog lain dari UNAIR, Windhu Purnomo juga angkat bicara bahwa kesalahan dalam data dan pertimbangan yang digunakan dapat menyebabkan kebijakan yang diambil pemerintah menjadi tidak tepat, khususnya dalam menanggulangi permasalahan COVID-19 yang berkaitan dengan pelonggaran kebijakan level PPKM. Pasalnya, akibat pencabutan indikator tersebut, sedikitnya sebanyak 26 kabupaten/kota turun level dari PPKM level 4 ke level 3. Hal ini dikhawatirkan dapat memperburuk situasi pandemi dan mempercepat penyebaran COVID-19.

Kelonggaran yang muncul dari penurunan level PPKM dapat menimbulkan efek psikologis di tengah masyarakat berupa rasa aman yang sifatnya semu. Respons masyarakat dikhawatirkan akan berubah menjadi lengah dan tak acuh terhadap protokol kesehatan karena menganggap bahwa situasi pandemi telah aman. Belum lagi pencabutan data kematian ini juga dapat memperkuat ramainya berita hoaks seputar pandemi COVID-19 di kalangan masyarakat. Mengingat masih banyak masyarakat yang menganggap pandemi ini sebagai konspirasi belaka.

Kita juga tidak bisa melupakn bahwa salah satu kewajiban utama pemerintah dalam membuat kebijakan adalah dengan melakukan effective communication. Artinya pemerintah harus bisa menjalin komunikasi secara transparan dan terus-menerus ke semua pihak dengan efektif agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan dapat membuat kebijakan yang didasarkan pada masalah yang riil dari masukan yang ada. Namun, pada kasus keputusan pemerintah untuk mencabut indikator kematian dari acuan penilaian level PPKM ini, malah timbul kesalahpahaman bahwa indikator tersebut akan dicabut sebagai keputusan tetap dan seterusnya, menandakan komunikasi pemerintah yang belum efektif dan terus terang sedari awal pengumuman.

Itu sebabnya sampai timbul berbagai pertentangan keras dari beberapa aktor pemerintahan dan ahli, seperti Wakil Ketua MPR Syarief Hasan, Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani Aher, dan ahli epidemiologi Windhu Purnomo yang tetap bersikukuh menekankan bahwa pencabutan indikator angka kematian tetap tidak boleh dicabut dari asesmen penilaian level PPKM. Setelah banyaknya kontroversi dan tolakan keras yang beredar, barulah pemerintah memberikan klarifikasinya melalui Siaran Pers No.SP502/HUM/ROKOM/SET.MARVES/VIII/2021 yang disampaikan oleh Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi. Beliau mengatakan bahwa indikator tersebut tidak dihapus, melainkan hanya tidak digunakan sementara karena terdapat data yang salah dan akan dipergunakan lagi setelah data kembali rapih.

Sebagai penutup dan rekomendasi, sebaiknya pemerintah lebih transparan sejak awal bahwa pencabutan indikator angka kematian dari asesmen penetapan PPKM sebagai suatu hal yang sementara. Diperlukan komunikasi yang lebih efektif lagi agar tidak terjadi kesalahpahaman di tengah masyarakat. Selain itu, akan lebih baik bila seluruh indikator dan pengumpulan data sudah rapih dan normal, baru dilakukan pengambilan keputusan yang mempengaruhi level PPKM di berbagai daerah karena tidak ada kepastian terkait penurunan level PPKM di 26 kabupaten/kota setelah pencabutan indikator tersebut merupakan keputusan yang absah dan benar. Diharapkan setiap masalah dan masukan yang ada dapat menjadi pertimbangan untuk membuat kebijakan yang lebih baik.

Penulis adalah Khansa Shafira, Rangga Alrizky, dan Stella Carlosia, mahasiswa Universitas Indonesia