Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Lingkungan sebagai Wujud HAM

lingkungan

Oleh: M. Frengki Wijaya

Mengingatkan kembali Pasal 28H ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” 

Lingkungan hidup sehat adalah kunci dasar dalam menghormati HAM. Setiap manusia mempunyai hak untuk menikmati kesehatan, kebahagiaan, dan ketersediaan lingkungan yang aman dan sehat. Lingkungan dan alam terikat dalam sebuah entitas sosial yang tidak bisa dipisahkan dengan manusia. 

Dalam tata hukum lingkungan hidup dikenal istilah ekosida, yang diartikan sebagai pemusnahan atau pengerusakan sistem ekologi. Lingkungan penyangga yang rusak pada akhirnya akan membuat seluruh sistem kehidupan hancur. Diibaratkan sebagai sebuah proses ‘bunuh diri’ yang dipicu malpraktek pengelolaan lingkungan. Deplesi ekologi tentu saja terjadi akibat munculnya kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan generasi masa mendatang. 

Berbagai kasus perusakan lingkungan hidup dan bencana ekologi seharusnya memperkuat dan membuka mata para pemangku kepentingan untuk lebih menciptakan keadilan secara ekonomi, sosial maupun lingkungan bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang, sesuai dengan adagium keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex). Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan kondisi yang ada hari ini, apalagi dengan disahkannya UU Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja dan UU No. 3 tahun 2020 tentang Minerba.

Disisi lain, contohnya seperti sentralisasi dalam hal penguasaan sumber daya mineral dan batu bara yang bertentangan dengan asas subsidiaritas sehingga menyebabkan kerugian konstitusional bagi masyarakat lokal. Pemanfaatan ruang bagi wilayah usaha pertambangan yang telah ditetapkan berakibat tertutupnya ruang partisipasi masyarakat untuk terus memperjuangkan haknya atas ruang hidup yang baik dan sehat.

Secara internasional pengakuan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan juga telah diakui sebagai salah satu prinsip utama tata kelola lingkungan dalam Deklarasi Rio 1992. Dimana prinsip 10 Deklarasi Rio menyatakan, bahwa masalah lingkungan paling baik ditangani dengan partisipasi semua warga negara yang peduli di tingkat yang relevan. 

Deklarasi Rio juga menetapkan, bahwa negara diminta untuk memastikan masing-masing individu memiliki akses yang tepat ke informasi mengenai lingkungan yang dimiliki oleh otoritas publik, termasuk informasi tentang bahan berbahaya dan kegiatan di komunitas mereka, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, negara harus memfasilitasi dan mendorong kesadaran dan partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi dengan sebaik baiknya.

Dalam konteks historis, hak atas lingkungan digolongkan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) Generasi Ketiga. Dimana hak atas lingkungan hidup bukanlah hak yang berdiri sendiri melainkan terdapat hak-hak turunan (derivatif) yang akan menentukan sejauh mana kualitas hak atas lingkungan dapat terpenuhi. Terdapat dua aspek yang membentuk hak atas lingkungan, yakni aspek prosedural dan aspek substantif. 

Aspek subtantif disini diartikan sebagai hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak dan hak untuk sehat, hak untuk mendapatkan keadilan intra dan anter generasi. Sedangkan hak-hak prosedural dimaksud, adalah elemen penunjang dalam rangka pemenuhan atas hak substansif, yakni hak atas informasi, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak untuk mendapatkan akses keadilan.

Saat ini, hak-hak prosedural dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan telah diatur dalam Konvensi Aarhus (Convention Access to Information, Participation and Decision Making and Access to Justice in Environmental Matters). Pasal 1 Konvensi Aarhus menyatakan: “In order to contribute to the protection of the right of every person of present and future generations to live in an environment adequate to his or her health and well-being, each Party shall guarantee the rights of access to information, public participation in decision-making, and access to justice in environmental matters in accordance with the provisions of this Convention.” 

Ketentuan Pasal 1 Konvensi Aarhus secara explisit meminta kepada negara untuk menjamin pemenuhan hak atas akses informasi, peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan akses terhadap keadilan dalam permasalahan terkait lingkungan hidup sebagai bentuk pemenuhan hak atas lingkungan hidup oleh negara.(article 1, objective, Convention Access to Information, Participation and Decision Making and Access to Justice in Environmental Matters: done at Aarhus, denmark, on 12 june 1998)

Dengan demikian, upaya pemenuhan akses peran serta kepada masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan suatu prasyarat dalam pemenuhan terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945.

Peran serta masyarakat atau yang juga dikenal dengan istilah partisipasi publik adalah elemen penting dari pengambilan keputusan lingkungan yang baik dan sah secara demokratis. Peran serta masyarakat merupakan salah satu bentuk saluran yang diberikan kepada masyarakat sehingga mendorong masyarakat untuk secara aktif menuntut pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik. Saat ini, pengakuan terhadap proses peran serta masyarakat dapat dilihat pada setiap level kebijakan, baik secara internasional, regional, nasional dan lokal.