Mohammad Natsir Sang Arsitek Negara Kesatuan

Natsir

Mohammad Natsir, Poto:Dok

Pada pertengahan 1949,- Indonesia berada di tubir jurang. Republik yang masih bayi tak hanya menghadapi gempuran militer, tapi juga rongrongan diplomasi Belanda. Salah satu pukulan yang menusuk jantung Republik adalah dibentuknya negara-negara bagian yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg. 

Dalang Bijeenkomst adalah mantan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook. Resminya, pembentukan Bijeenkomst disebut sebagai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati 1946. Namun, dengan kelicikannya, Van Mook membiakkan negara bagian yang semestinya cuma terdiri atas Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Borneo, menjadi 16 negara bagian. 

Negara Borneo dipecah menjadi lima: Dayak Besar, Borneo Tenggara, Borneo Timur, Borneo Barat, dan Banjar. Republik Indonesia dicabik menjadi sembilan negara bagian: Bengkulu, Beliton, Riau, Sumatera Timur, Ma-dura, Pasundan, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dia menyisakan Republik Indonesia menjadi negara bagian kecil yang hanya memiliki wilayah seluas Kesultanan Yogyakarta. 

Bahkan di Sumatera telah antre Jambi dan Tapanuli Selatan untuk menjadi negara bagian sendiri. Van Mook memang sengaja melakukan politik pecah belah. Tujuan akhirnya jelas: untuk meniadakan Republik Indonesia. 

Dalam sebuah tulisan pada 1982, Mr Mohammad Roem menyebut, "Memang sangat menarik untuk membentuk negara bagian, lebih-lebih untuk menjadi kepala negaranya. Orang memperoleh segala fasilitas keuangan dan teknis dari pemerintah Hindia Belanda." Tak mengherankan bila kaum Republik mencemooh Bijeenkomst voor Federaal Overleg sebagai, "Negara Boneka bikinan Van Mook." 

Pada 27 Desember 1949 lahirlah Republik Indonesia Serikat menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Soekarno tetap menjadi presiden dan Hatta menjabat Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri. Belanda melakukan penyerahan kedaulatan disertai pengakuan kepada republik baru.

Siasat Van Mook terbukti tak berjalan mulus. Di Yogyakarta, Mr Asaat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia-salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Namun, karena rakyat tak dapat melepaskan pikiran dari wibawa dan pengaruh Presiden Soekarno, Asaat mengambil sumpah sebagai "Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia". 

Pada 4 Januari 1950, Asaat mengangkat tiga orang untuk membentuk kabinet yakni; Mr Susanto Tirtoprodjo, Mohammad Natsir, dan Dr Halim. Pokok pertama program kabinet itu berbunyi: "Melanjutkan perjuangan untuk membentuk satu negara kesatuan yang akan meliputi Nusantara sebagai tersebut dalam proklamasi 17 Agustus 1945."

Pada hari yang sama, negara-negara bagian lain mulai bergolak. Kaum republikan dari berbagai pelosok negeri menyampaikan aspirasi kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Malang misalnya, mencetuskan resolusi untuk lepas dari Negara Jawa Timur dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.

Pada 30 Januari 1950, giliran Kabupaten Sukabumi mengeluarkan resolusi serupa; lepas dari Negara Pasundan dan bergabung dengan Republik Indonesia. Gejolak yang sama terjadi di Negara Sumatera Timur. Di sini malah terjadi demonstrasi-demonstrasi disertai kekacauan yang membuat polisi harus bertindak. 

Menghadapi situasi ini, Natsir segera bermanuver. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen Republik Indonesia Serikat, Ia mengambil inisiatif bertukar pikiran dengan pemimpin-pemimpin fraksi lain. Natsir segera mencapai kesepahaman dengan Kasimo dari Partai Katolik dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia. 

Pembicaraan paling alot terjadi dengan kekuatan politik yang ekstrem: Partai Komunis Indonesia di sisi kiri dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg di sebelah kanan Tapi Natsir mendapat masukan berharga setelah berbincang dengan Insinyur Sakirman dari Partai Komunis Indonesia dan Sahetapy Engel dari Bijeenkomst. Kebanyakan negara bagian rupanya berat membubarkan diri dan melebur dengan Republik Indonesia yang mereka sebut Republik Yogyakarta. Soalnya, mereka merasa sama-sama berstatus negara bagian menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.

Setelah berbulan-bulan melakukan pembicaraan dan lobi dengan pemimpin fraksi lain, Natsir mengajukan gagasan kompromistis. Dia menyarankan semua negara bagian bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Jadi tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya.

Usul itu diterima pemimpin fraksi lain. Maka, pada 3 April 1950, Natsir menyampaikan pidato bersejarah di depan parlemen Republik Indonesia Serikat. Pidato itu ditutup dengan mosi yang intinya: "Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu akhir-akhir ini."

Mosi itu diteken beramai-ramai oleh Subadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Ir Sakirman, K. Werdoyo, Mr A.M. Tambunan, Ngadiman Harjosubroto, Sahetapy Engel, Dr Cokronegoro, Moch. Tauchid, Amelz, dan H Sirajudin Abbas. Mereka mewakili 11 fraksi di parlemen. 

Sehari sebelum penyampaian mosi yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, masih ada lagi dua resolusi dari daerah. Dewan Perwakilan Kota Praja Jakarta Raya dan Dewan Perwakilan Daerah
Sulawesi Selatan menyatakan keinginan bergabung kembali dengan Republik Indonesia. Isi Mosi Integral Natsir jelas merupakan undangan bagi pemerintah agar mengambil prakarsa mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya membuat rencana mengatasi gejolak.

Pemerintah, diwakili Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta, menyambut mosi dengan tangan terbuka. "Mosi Integral Natsir kami jadikan pedoman menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi," ujarnya. 

Hatta kemudian membentuk Panitia Persiapan yang terdiri atas utusan semua negara bagian. Mereka bertugas membuat Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya pada 19 Mei 1950 diadakan perundingan pemerintah Republik Indonesia Serikat yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur dengan Republik Indonesia. Perundingan itu menghasilkan piagam yang ditandatangani Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Republik Indonesia Dr Halim. 

Inti piagam tersebut adalah kesepakatan kedua belah pihak membentuk sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dalam waktu sesingkat mungkin.

Pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan dalam sidang bersama parlemen dan senat Republik Indonesia Serikat. Dua hari kemudian, saat perayaan ulang tahun kelima proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Momen bersejarah itu dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia. Dan Mohammad Natsir patut dicatat sebagai sang arsitek utama.

Tulisan ini merupakan bagian dari Seri buku TEMPO: Tokoh Islam Diawal kemerdekaan dengan judul Natsir: Politik Santuan di Antara Dua Rezim/kiriman dari penulis sejarah asal Bengkulu Hardiansyah

Editor: Riki Susanto