Interaktif News – Bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra bukan sekadar tragedi ekologis. Di balik banjir bandang, longsor, dan rusaknya ruang hidup warga, tersimpan persoalan mendasar, mulai dari tata kelola sumber daya alam yang timpang, penuh kepentingan, dan jauh dari prinsip keadilan lingkungan. Namun hingga kini, pemerintah tak kunjung menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional, meski dampaknya meluas lintas daerah, menelan korban, serta menghancurkan struktur sosial dan ekonomi masyarakat.

Sikap negara yang terkesan ragu mengglobalkan status bencana ini justru memunculkan tanda tanya besar di ruang publik. Apalagi, di tengah berbagai temuan lapangan, penyebab bencana dinilai sudah menjadi common sense masyarakat yakni kerusakan hutan, alih fungsi lahan besar-besaran, serta maraknya izin usaha di kawasan rawan bencana.

Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Dr. Elviriadi, secara tegas menyebut bahwa bencana ini adalah buah dari hegemoni kekuasaan melalui perizinan usaha eksploitatif sumber daya alam. “Saya melihat musibah ini bukan semata bencana alam, tetapi akibat dari kebijakan perizinan yang rakus dan abai terhadap daya dukung lingkungan,” tegas Elviriadi.

Dengan topografi Sumatra yang didominasi wilayah berbukit, lereng curam, dan kawasan rawan bencana, ia menilai seharusnya tidak ada konsesi perusahaan, khususnya di tiga provinsi yang terdampak paling parah. Namun realitas justru berbanding terbalik, aktivitas korporasi terus diberi ruang, sementara kapasitas lingkungan semakin tergerus.

Temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kian menguatkan dugaan tersebut. Setidaknya terdapat 16 perusahaan yang teridentifikasi beroperasi di area terdampak bencana. Bagi Elviriadi, angka ini bukan sekadar statistik, tetapi bukti nyata kesewenang-wenangan penguasa dalam mengobral izin usaha tanpa kajian lingkungan serius dan tanpa memikirkan keselamatan penduduk.

“Ini bukan sekadar kelalaian teknis, ini adalah kejahatan kebijakan. Izin diberikan tanpa rasa tanggung jawab, tanpa mempertimbangkan risiko ekologis, dan tanpa memikirkan keselamatan rakyat,” tegasnya.

Lebih jauh, Elviriadi memandang bencana ini sebagai akibat langsung dari kebijakan publik yang keliru dalam tata kelola kehutanan dan lingkungan hidup, namun tetap dipertahankan demi kepentingan segelintir elite ekonomi-politik. Ia menyebut praktik ini sebagai wajah nyata dari “serakahnomics”, ketika kepentingan segelintir pihak ditempatkan di atas keselamatan jutaan warga.

Ia menilai pemerintah seharusnya tidak hanya sibuk pada mitigasi darurat dan distribusi bantuan, tetapi juga secara terbuka mengungkap penyebab utama bencana. “Publik sudah paham ini bukan sekadar faktor alam. Ini akibat eksploitasi hutan, pembukaan lahan masif, dan lemahnya pengawasan terhadap korporasi. Pemerintah harus jujur menyampaikan akar masalahnya,” kata dia.

Menurut Elviriadi, tanpa keberanian negara untuk mengakui kesalahan kebijakan dan membuka secara terang peran perusahaan dalam kerusakan lingkungan, maka bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terulang. Yang terjadi kemudian adalah siklus penderitaan rakyat, sementara pelaku kerusakan tetap aman di balik dokumen perizinan.

Atas kondisi tersebut, ia menegaskan harus ada pertanggungjawaban hukum, sosial, serta evaluasi total terhadap manajemen kehutanan nasional. Bukan hanya menghentikan sementara, tetapi melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin usaha di kawasan rawan bencana, mencabut izin yang bermasalah, serta memulihkan fungsi ekologis hutan sebagai benteng alami kehidupan.

“Kami mendorong agar pemerintah pusat dan daerah berani menetapkan moratorium total izin usaha baru di kawasan rawan bencana, sekaligus membuka seluruh data perizinan kepada publik sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas” kata pakar lingkungan ini.

Reporter: Iman SP Noya