Poto Ilustrasi demo buruh di Indnesia, Poto:Dok/Thejakartapost.com
Sepele namun menggurita, bisa-bisa kedaulatan bangsa ini berantakan bila pemerintah abai dengan masalah klasik antara karyawan versus perusahan tak kunjung diperhatikan. Sejarah telah mencatat konflik karyawan (buruh) versus perusahaan (kapitalis) adalah konflik akut di negeri ini. Berkali-kali telah berbuah konflik, redam-reaktif hingga memuai namun tak pernah berujung.
Redaksi Bengkuluinteraktif.com sebulan terakhir konsen dengan isu baru yang sekaligus mungkin basi Yaitu, konflik antara 5 orang mantan karyawan yang berjuang melawan bekas perusaannya, Tunas Mobilindo Perkasa (Tunas Daihatsu Bengkulu-TDB).
Isu ini sebelumnya jarang jadi perhatian media mainstream apalagi nangkring di space headline. Selain tak menarik (klik bait-media siber) juga rawan keterikatan kepentingan. TDB merupakan distributor mobil yang total marketing yang tentunya banyak kait-mengait dengan media massa yang notabene hidup 80 persen dari advertising.
Konflik mantan karyawan melawan TDB bukanlah kali pertama terjadi. Sebelumnya pada tahun 2016 lalu, 4 karyawan mereka juga dipecat hingga bersengketa sampai ke pengadilan. Masalah yang dialami nyaris sama, tidak jelas status apakah karyawan tetap atau karyawan kontrak dan saat dipecat tak disangui apa-apa, baik uang maupun surat PHK.
Selain itu, banyak kasus pemecatan sepihak yang tak mendapat ruang di tengah publik. Entah karena yang dipecat tak tahu kemana mengadu sehingaa berkata “ya sudahlah” atau mungkin mereka diselesaikan dengan cara adat, walahualam.
Kejadian yang menimpa 5 mantan karyawan yang baru saja dipecat ini nyaris sama persis. Diantara mereka sudah ada yang berkerja hingga 7 tahun namun tidak mendapat hak sebagai karyawan tetap, sedangkan menurut UU wajib hukumnya diangkat menjadi karyawan tetap.
Kelima eks karyawan ini diputus hubungan kerja tanpa sepeser pun pesangon. Mereka dipecat tanpa selembar suratpun, baik surat PHK atau semacam sertifikat saat mereka pernah berprestasi waktu kerja. Padahal, surat-suratan bukti pecat itu bukanlah untuk hal yang aneh-aneh, sekedar untuk melanjutkan hidup di tempat lain. Syukur-syukur bisa dijadikan syarat untuk terima santunan dari pemerintah.
Beruntung, kelima karyawan ini dipertemukan dengan kelompok pengacara muda yang tergabung pada Kantor hukum Rendra Edwar Fransisko & Dony Tarigan. Kedua advokat muda itu kebetulan konsen dengan isu hukum ketanakerjaan. Mereka dituntun ke Dinas Tenaga Kerja Kota Bengkulu sebagai wadah untuk mengadu menurut UU.
Kelima eks karyawan ini pun dimediasi hingga tiga kali tatap muka dengan difasilitasi pihak Disnaker Kota Bengkulu. Hingga pada tatap muka ketiga antara karayawan yang dipecat dengan manajemen TDB menemukan titik sambung yang nyaris bersentuhan. Manajemen TDB setuju membayar 50 persen dari total tuntutan dari eks lima karyawannya.
Namun, janji itu pun diingkari. Menariknya, pembatalan kesepakatan itu terjadi, pasca beredar isu para pimpinan distributor mobil berbagai merk di Bengkulu baru saja gelar kongko-kongko di suatu tempat. Entah apa yang mereka obrolkan, bisa saja bermufakat agar sama-sama ‘melawan’ eks karyawan-karyawan mereka yang menggugat karena dipecat. Dugaan itu bukan tak beralasan, saat bersamaan salah seorang eks karyawan Distributor Hino juga menggugat eks perusahaannya.
Manajemen TDB mungkin sudah terbiasa dengan soal-soal pecat-memecat karyawan dan hampir seluruhnya berakhir dengan adem-adem saja. Demikian pula yang mereka harap dengan kelima eks karyawan mereka yang sedang berjuang menuntut keadilan.
Namun, masalah ini bukan hanya soal karyawan versus perusahaan tapi lebih pada tuntutan akan peran pemerintah selaku manejer dari seluruh aktifitas di negeri ini. Jikalau pemerintah tak kuasa untuk berbuat, abai bagi yang lemah, jangan kemudian anti dengan teriakan lantang “gayang kapitalis, tegakan keadilan.” Itu pula mungkin omnibus law Cipta Kerja penuh kontraversi di negeri ini-luka lama tak ada obat, lantas disiram air keras. Miris memang.
Redaksi