Catatan pinggir Benny Hakim Benardie*
Hari ini Jum’at 22 Maret 2024. Entah berapa lama dia mengarungi profesi wartawan. Mulai wartawan koran hingga kini era digital, semuanya berubah dan bertambah aturan main. Termasuk juga dalam pemakaian alat kerja yang ada.
Tak bisa ditampikan lagi, modernisasi terus melanda. Hanya yang lemah akan ditelan oleh zaman. Ingin tetap ikut peran dalam profesi mulia ini, ekonomi mesti dipicu dan dipacu meskipun dengan irama degup jantung yang tak menentu. Pasrah, suatu ungkapan tak terucap. Namanya juga wartawan gaek alias tua atau bangkotan.
Wartawan gaek disini maksudnya, usia muda sudah lewat, tua nian juga belum. Paling tidak, kalau ditanya soal selera, jawabnya masih sama seperti wartawan yang masih muda. Klise memang, semangat kencang, tenaga kurang.
Tak menampik soal diatas, yang pasti saat ini dia merupakan katagori wartawan senior yang sudah mampu menulis esai dan beragam bentuk tulisan lainnya, Bukan wartawan yang tua aja. Ibarat kelapa tua yang bersantan, bukan kelapa tua tanpa isi. Orang Bengkulu bilang, kelapa tua bangking.
Setiap wartawan yang tekun dalam profesinya, tentunya sangat paham jatuh bangunnya dunia pers di Indonesia. Dampaknya tentu ke wartawan yang acapkali pasrah dalam komitmen. “Lapar minum, haus minum”.
Hanya saja, terkadang anak bini yang kurang paham dan tak tahan. Bisa-bisa wartawan itulah, bagaimana menjaga ritme kehidupan agar “biduk lalu, kiambang bertaut”. Satu kata untuk itu semua itu, “tagokan”.
Profesi Mulia
Wartawan itu merupakan profesi mulia dari sosok intelektual. Menurut KBBI, intelektual itu diartikan cerdas, berakal dan berfikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Keahliannya dalam bidang khusus dalam memperoleh, mencari, memiliki, menyimpan, mengelolah dan menyampaikan informasi harus jelas, tegas dan tertata sesuai kaedah dan norma jurnalistik yang ada.
Baik itu dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya. Produknya dinamakan produk jurnalistik, yang di-publish melalui media yang berbadan hukum. Sebelum di-publish, ada seleksi dan koreksi berjenjang, mulai dari wartawan hingga ke pemimpin redaksi.
Itu semua terstruktur agar produk yang dihasilkan memenuhi syarat dalam kerangka norma dan kaedah jurnalistik. Sesuai kode etik jurnalistik dan dalam penerapannya sesuai dengan disiplin dan prinsip media yang ada, dalam memaparkan deskripsi dari informasi dan data.
Hanya saja, pada tulisan kali ini, bukan ingin menjelaskan apa dan siapa itu wartawan, jurnalistik, tekhnis media serta bentuk dan sifat sebuah berita? Biarlah itu ranahnya akademisi yang menelorkan keilmuan tentang itu.
Dalam catatan ini, Wartawan Gaek tersebut ingin mengatakan, “setiap sesuatu itu ada ilmunya dan dalam implementasinya ada pengetahuannya”. Dua unsur itu, ilmu dan pengetahuan harus dalam satu tarikan nafas.
Seperti yang dikatakan tadi, wartawan itu merupakan profesi khusus. Dimana ingin masuk ke profesi itu harus lebih dahulu berbekal ilmu, guna mengapai pengetahuan demi meraih profesionalitas.
Seseorang untuk menjadi wartawan harus punya kecerdasan berfikir, kecepatan mengerti dan menanggapi suatu peristiwa dengan mengunakan ilmu. “kurang ilmu suluh padam, kurang paham meraba-raba”. Salah raba pidana kito nden!
Pertanyaannya, bagaimana bila seseorang dasar dasar keilmuannya bukan ilmu jurnalistik. Dasar ilmu kewartawanannya masih rendah? Solusinya, perbanyaklah bertanya pada senior, bukan yang sekedar tua.
Bertanyalah pada ahlinya yang berkompeten dibidang jurnalistik atau kewartawanan. Termasuk membaca buku karyanya atau tulisan yang telah di publikasikannya. Ingat, bertanya itu merupakan akar dari ilmu.
Wartawan pemula ataupun yang mulai beruban harus sadar, kalaulah bertanya adalah pembuka pintu untuk mencapai ilmu kewartawanan atau ilmu jurnalistik. Teruslah belajar dan jangan takut salah. “Tiada Gading yang tak retak. Kalaulah ada itu Cading, bukan Gading”.
Wartawan dan Ilmuwan
Profesi wartawan terlebih di era kini, hampir tak ubahnya dengan seorang ilmuwan. Wartawan yang profesional juga merupakan ilmuwan yang baik. Seorang wartawan pekerjaannya mengumpulkan informasi dan data menjadi sebuah deskripsi, lalu diraciknya menjadi sebuah berita dengan kaedah jurnalistik.
Hampir tak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh seorang ilmuwan dengan hasil penelitiannya. Dimana deskripsi dan penelitiannya disebut merupakan bagian dari karya ilmiah. Sementara karya jurnalistik dari seorang wartawan dapat disebut sebagai karya ilmiah populer. Beda dalam cara memberikan konstribusi terhadap ilmu pengetahuan saja.
Selain itu, aktivitas ilmuwan dalam penelitian hanya sekedar mencari jawaban atas suatu pertanyaan. Ilmuwan melakukan investigasi kritis, mendalam dan lengkap (exhaustive) yang ditujukan kepada revisi terhadap suatu kesimpulan yang sudah diterima, dengan berdasarkan kepada fakta baru yang ditemukan.
Wartawan juga dapat melakukan investigasi secara mendalam, hanya saja tidak merupakan investigasi kritis. Namun pada prinsipnya sama dalam melakukan pengungkapan dan memberikan informasi, meskipun terbatas dengan ruang dan waktu.
*Penulis adalah Wartawan Gaek tinggal di Bengkulu