Atlet Porwanas PWI Tahun 2024 sebelum berangkat menuju Geopark Meratus, Kalsel, Kamis, (22/8/24), Foto: Dok/Benny Benardie
Pekan Olahraga Wartawan Nasional Indonesia (Porwanas) XIV 2024 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) usai di gelar di Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Banyak pelajaran yang dapat diambil untuk Provinsi Bengkulu sebagai perbandingan, khususnya dalam membangun kepariwisataan dan kebudayaan.
Catatan sepekan di Kalimantan Selatan ini tak bermaksud untuk menggurui, apalagi mengambil peran anggota dewan ataupun pejabat yang acapkali melakukan kujungan kerja di luar provinsi. Tulisan ini hanya didasari sekelumit observasi dan wawancara di sela-sela kegiatan tiga tahunan PWI. Tidak pula untuk dijadikan sebagai rujukan yang harus ditelan mentah-mentah.
Saat mendarat di Bandar Udara Internasional Kalsel, nama Syamsudin Noor terpampang besar. Sosok putra daerah yang namanya disematkan di bandara ini sebagai penghormatan atas jasa-jasanya. Tokoh bernama lengkap Kapten Udara (Anumerta) Muhammad Syamsudin Noor lahir pada 5 November 1924 dan gugur pada 26 November 1950. Ia merupakan seorang perwira TNI-AU dan pilot perintis dari Kalimantan Selatan yang berperan penting dalam perjuangan di Indonesia.
Satu jam perjalanan dari bandara menuju Kota Banjarmasin, tampak bangunan pemerintah umum termasuk rumah ibadah, Masjid Hasanudin Madjedi salah satunya. Masjid megah dan unik ini terlatak di jantung Kota Banjarmasin. Nama Hasanudin Madjedi diambil dari seorang tokoh pergerakan asal Kalsel 1966. Tokoh reoformis ini gugur saat aksi demonstrasi memperjuangan Tritura era Soekarno.
Begitulah Pemda Kalsel menginvetarisir, menyematkan nama pahlawan atau tokoh lokal sebagai penghargaan. Demikian pula nama persimpang jalan yang tetap dilafalkan dalam bahasa Melayu setempat, tidak diganti menjadi bundaran atau perapatan. Di sini nampak kesadaran, kepedulian dan kecintaan mereka akan budaya daerah. Mereka membina diri dengan simbol-simbol yang nampak kecil namun penting dalam menjaga kearifan lokal.
Makam Keluarga di Halaman Rumah
Cuaca panas Kota Banjarmasin, Kalsel hampir sama dengan cuaca yang ada di Bengkulu kota. Banyak aliran sungai besar membelah kota berlahan gambut ini yang membedakan dengan Kota Bengkulu yang terletak di pesisir pantai. Bila ini terjadi pada abad 18 Masehi, mungkin ada kemiripan kondisi karena Kota Bengkulu dahulu lahan gambut dan dibelahi oleh 12 anak sungai kecil.
Perjalanan melaju ke Kota Martapura, Kabupaten Banjar. Saat melintas pinggiran Sungai Tabuk dan masuk di Desa Martapura Lama, sempat tercengang melihat rumah masyarakat lokal setempat. Dimana di setiap halaman rumah penduduk, selalu terdapat makam keluarga.
Sekecamatan Martapura Barat, di desa tua itu berlaku tradisi memakamkan anggota keluarga di halaman depan rumah mereka. Tradisi yang telah berlangsung lama, sejak era nenek moyang mereka hingga kini. Makam tersusun di depan beranda rumah.
“Salah satu alasannya, agar anak keturunan tidak menjual rumah tua, dan anak cucu mereka dapat menetap dirumah itu” jelas Rangga (56), penduduk setempat yang kesehariannya mencari ikan di sungai.
Uniknya lagi, ukuran kuburan itu tampak lebih pendek dari umumnya, sekira satu meter saja. Dari beranda rumah mereka nampak mengamati lalu lalang penguna jalan raya dari sela makam keluarga. Dari Martapura Lama kita dapat sedikit belajar, tidak merusak budaya dan tradisi lama bukan berarti tidak maju. Sebaliknya keunikan daerah adalah aset berharga untuk membangun wisata dan kemajuan bagi daerah.
Giatkan Budaya, Raup Rupiah
Dahulu, masyarakat Banjar yang tinggal di pinggiran sungai, berumah di atas air. Aktifitas perniagaanpun dilakukan di aliran sungai mengunakan Jukung (Sampan atau Perahu) dalam bahasa Banjar. Kehidupan masyarakat di aliran Muara Sungai Kuin yang disebut Pasar Terapung, Sungai Barito Banjarmasin Kalsel diunikan kembali Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan.
Aktivitas perniagaan tersebut diaktifkan kembali. Aktifitas berniaga hasil bumi, makanan tradisional hingga kerajinan tangan, membangkitkan Usaha Kecil dan Menegah (UKM) masyarakat lokal. Ini menjadi obyek wisata bahari eksotis.
Perniagaan tak berlangsung lama. Dimulai sekira pukul 06.00 WIT hingga 10.00 WIT. Para wisatawan dapat menikmati pemandangan aliran Sungai Barito dengan mengunakan Perahu Kelotok (kapal ikan kecil) berjasa Rp 35 ribu saja, wisatawan dapat mengunggah andrenalin dengan menyusuri Sungai Barito.
Konsep tersebut tentunya akan memakmurkan masyarakat. Penerimaan devisa akan meningkat dan menimbulkan peluang kerja bagi masyarakat, akan berdampak pada stabilitas perekonomian Provinsi Bengkulu.
Pertanyaannya, kenapa Provinsi Bengkulu yang juga punya sungai di kota dan kabupaten tidak membuat konsep wisata bahari tersebut? Kapal ikan seperti Perahu Kelotok itu banyak terdapat seperti di Pelabuhan Pulau Baai (Polo Bay) Kota Bengkulu atau dermaga di kabupaten di Provinsi Bengkulu. Lantai kapal hanya dimodifikasi saja ala ‘lesehaan’, agar wisatawan dapat menikmati kebaharian Negeri Bengkulu Raya ini santai, nyaman dan berkesan.
Bila pemerintah daerah punya konsep kepariwisataan seperti ini, tentunya membangkitkan budaya wisata kemaritiman yang dapat meraup cuan-cuan bagi kepentingan daerah. Provinsi Bengkulu banyak punya hasil bumi, sumber daya alam dan flora dan fauna, tak kalah kaya dengan Kalimantan Selatan. Tinggal lagi bagaimana “Budaya darat darat tetap digalakan, budaya air kita berdayakan dan jangan dilupakan”.
Wisata Desa
Bila Kalimantan Selatan punya desa di bawah kaki bukit, di pinggiran aliran air, apa bedanya dengan yang ada di Provinsi Bengkulu. Sebagai daerah pesisir pantai bagian barat Pulau Sumatera ini punya apa yang provinsi lain ada, bahkan Samudera Hindia membentang sepanjang mata memandang.
Sebagai pembelajaran, perbandingan Provinsi Bengkulu maka Provinsi Kalimatan Selatan dapat dijadikan contoh khusus untuk desa wisata. Obyek wisata bernilai edukasi dan ekonomis, meskipun jarak tempuh menuju desa berkisaran 5 jam perjalanan dari titik nol Kota Banjarmasin, Kalsel.
Nama Desa Belagian, merupakan Desa Wisata Kahung Goepark Meratus yang terletak di Belagian Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Salah satu desa yang ada di bagian pulau pulau yang ada di perairan Waduk Riam Kanan.
Sebuah desa seluas 121.95 Kilo Meter persegi yang punya histori dan story. Dahulunya areal Desa Liang Hantu tempat pemujaan warga kepada para Jin yang ada di hutan tersebut. Kini kesan angker tak ada lagi sejak hutan itu dipenuhi 350 jiwa penduduk dengan 105 Kepala Keluarga.
Dari Titik Nol Kota Banjarmasin, sekira 3 jam perjalanan mengunakan mini bus, kita tiba di Dermaga Bukit Batu. Wilayah berbukit dan berbatuan menghampar, dengan pemandangan waduk luas di bawah kaki gunung mengintari.
Perahu Kelotok tampak siap menghantarkan wisatawan menuju Belagian, mengintari beberapa pula kecil berpenduduk di tengah waduk. Dua jam mengarungi waduk, wisatawan tiba dan disambut ramah masyarakat adat Banjar, Desa Belagian, Desa Wisata Kahung Geopark Meratus.
Frasa Geopark Meratus merupakan wilayah geografi dengan keanekaragaman budaya dan hayati dengan kekayaan alam yang unik, langka dengan flora dan fauna yang terjaga dengan pengembangan konservasi, edukasi dan pengembangan ekonomi lokal.
Wisata itu digiatkan di Desa Kahung yang mengratiskan untuk para pencinta alam untuk melakukan riset. Untuk para wisatawan dengan fasilitas yang tersedia, hanya dikenakan Rp 180 ribu saja per orang. Dari gapura desa, wisatawan harus berjalan kaki beberapa pulu meter, sembari menikmati gemericik air sungai yang bermuara di Waduk Riam Kanan. Saat memasuki perumahan desa, hanya tampak rumah yang di bangun dari kayu, selebihnya rumah batu (Bersemen).
Di tengah desa ada sebuah masjid Al Jihad dengan lambang Muhammadiyah, dan di seberang masjid tampak Mandrasah Ibtidaiyah, satu-satunya sekolah yang ada. Untuk sekolah tahap lanjut, masyarakat mensekolahkan anaknya ke daerah Banjar. Dari desa inilah wisatawan menuju Hutan Hujan Tropis Kahung, dengan jarak tempuh 5,4 Km mengunakan kendaraan sepeda motor.
Laju kendaraan di jalan setapak melintasi hutan pohon karet, menuju hutan asri melintasi sungai, jembatang gantung dengan lokasi curam dan mendaki, wisatawan akan menemukan berbagai berbatuan besar yang berasal dari kelompok Batuan Ultramafik yang berumur 180-135 juta tahun lalu.
Kelompok batuan Diorit yang berumur 143-157 juta tahun lalu dan kelompok batuan Basal berumur 56-65 juta Tahun lalu. Termasuk jenis tumbuhan khusus hutan tropis saat melintah menuju ketinggian sekitar 1,456 meter di atas permukaan laut.
Wisatawan sempat berhenti dengan panduan pihak Dinas Kehutanan setempat, diperkenalkan sebatang kayu besar Benuang Laki, salah satu kekayaan hayati khas pergunungan Meratus. Termasuk kekayaan fauna seperti monyet hitam (Hirangan), cacing kepala martil dan beruang madu, spesies katak, ular dan lainnya.
Wisata Desa Kahung yang ada juga sangat dimungkinkan dilakukan di wilayah Provinsi Bengkulu dan ada kesamaan obyek dalam keunikan. Apalagi Provinsi Bengkulu mempunyai wilayah pergunungan dan pantai bersama keragaman budaya yang ada.
Penulis: Benny Benardie, pemerhati Budaya dan Sejarah Bengkulu, tinggal di Kota Bengkulu