Putusan MK Perkuat Rohidin Mersyah Kembali Maju Pilkada 2024

Mahkamah Konstitusi

Oleh Rendra Edwar Fransisko dan Alauddin*

Polemik silang pendapat terjadi dikalangan akademisi hukum ihwal Putusan MK Nomor: 02/PUU-XXI/2023, Putusan MK Nomor Nomor 67/PUU-XVIII/2020 dan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dihubungkan dengan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah. Putusan tersebut kemudian ditafsirkan serta merta bahwa Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah tidak bisa kembali mencalonkan diri dalam Pilkada 2024. Benarkah tafsir hukum tersebut?

Tulisan ini merupakan wujud keresahan penulis sebagai akademisi hukum yang melihat distorsi penafsiran atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 02/PUU-XXI/2023. Belum lagi, bias tafsir tersebut dilakukan oleh para pakar hukum yang bisa jadi akan menjadi rujukan masyarakat dan para pemangku kebijakan. Selain itu, tulisan ini mencoba memberikan perspektif objektif atas putusan MK Nomor: 02/PUU-XXI/2023, Nomor 67/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 22/PUU-VII/2009 agar hukum menjadi penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Point pertama, tafsir putusan Mahkamah Konstitusi 02/PUU-XXI/2023 terhadap uji materil Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada  dengan Pemohon Edi Damansyah sebagai orang yang pernah menjabat Pelaksana Tugas Bupati Kutai Kartanegara untuk mengikuti Pemilihan Bupati Kutai Kartanegara pada Pilkada serentak tahun 2024. Lalu bagaiman cara memahami putusan Mahkamah Konstitusi 02/PUU-XXI/2023?

Ada dua (2) cara yaitu; Pertama, membaca utuh amar putusan, Kedua, pertimbangan hukum yang sifatnya mengikat. Dalam  putusan Mahkamah Konstitusi 02/PUU-XXI/2023, hakim MK mempertimbangkan perkara-perkara sebelumnya yang berkaitan dengan norma perkara yang diuji atau mutatif mutandis.

Contoh pertama, Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, permohonan uji materil ini diajukan oleh Nurdin Basirun. Pada priode pertamanya sebagai Bupati Karimun melalui masa jabatan definitif sejak 25 April 2005 sampai 14 Maret 2006). Pada pilkada kedua, terpilih kembali sebagai Bupati Karimun dan dilantik pada tanggal 15 Maret 2006. Mahkamah Konstitusi hanya mempersoalkan penghitungan jabatan definitif Nurdin Basirun.

Kemudian pertimbangan putusan MK Nomor 02/PUU-XXI/2023 menyebutkan berdasarkan pertimbangan putusan-putusan di atas, khususnya pertimbangan hukum dan amar putusan MK Nomor: 22/PUU-VII/2009 yang menyebutkan “Masa jabatan yang dihitung satu (1) priode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan”.   

Kemudian pertimbangan kedua (2) yang bisa dijadikan rujukan penguat adalah putusan Mahkamah Konstitus Nomor: 67/PUU-XVIII/2020. Putusan ini mengenai Bupati Bone Bolango priode 2010-2015 yaitu Hamin Pou yang menjadi Pelaksan Tugas bupati selama dua (2) tahun delapan (8) bulan sembilan (9) hari, kemudian Hamin Pou menjadi Bupati definitif selama dua (2) tahun 3 (tiga) bulan dan 21 (dua puluh satu) hari. 

Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020 tidak menyatakan Hamin Pou tak memenuhi syarat sebagai calon bupati periode 2021-2026 karena terhitung dua (2) priode. Akhirnya Hamin Pou menjabat bupati Bone Bolango priode 2021-2026, padahal telah menjadi Plt bupati selama dua (2) tahun delapan (8) bulan sembilan (9) hari, sudah melewati 2,5 tahun akan tetapi yang dihitung dalam putusan adalah sejak definitif bukan sejak Plt Bupati.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020 menjelaskan cara menghitung masa jabatan bupati adalah sejak pelantikan atau sejak definitif dan pertimbangan hukum terkait Hamin Pou mirip dengan situasi yang dihadapi pemohon Edi Damansyah (putusan putusan MK Nomor 02/PUU-XXI/2023). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020.

Berdasarkan penafsiran putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di atas, penulis hubungkan dengan pristiwa hukum yang terjadi dengan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah yang kemungkinan akan kembali mencalonkan diri pada Pilkada 2024. Pertanyaannya apakah Rohidin Mersyah telah melewati dua setengah tahun atau lebih?

Rohidin Mersyah diangkat menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Bengkulu tanggal 22 Juni 2017. Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 112.17/2928/SJ prihal Penugasan Wakil Gubernur Bengkulu selaku Pelaksana Tugas Gubernur Bengkulu.

Rohidin Mersyah, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 215/P Tahun 2018 tentang Pengesahan Pemberhentian Dengan Hormat Wakil Gubernur Bengkulu Masa Jabatan Tahun 2016-2021 dan Pengesahan Pengangkatan Gubernur Bengkulu Sisa Masa Jabatan Tahun 2016-2021, tanggal 23 November 2018, dan berdasarkan keputusan ini mulai berlaku sejak Rohidin Mersyah dilantik yaitu mulai berlaku pada tanggal 10 Desember 2018.  

Masa jabatan Rohidin Mersyah sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Bengkulu adalah satu (1) tahun lima (5) bulan delapan belas (18) hari dan sebagai Gubernur Bengkulu Definitif selama dua (2) tahun dua (2) bulan lima belas (15) hari. Kedua jabatan tersebut tidak bisa digabung karena secara historis atau yurisprudensi putusan MK tersebut sebelumnya yang tidak menyebutkan satu priode adalah gabungan antara Plt dan Pejabat Definitif.

Tafsir hukum yang menyatakan bahwa putusan MK 02/PUU-XXI/2023, Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 dan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 menjadi penghambat Rohidin Mersyah untuk kembali  maju dalam Pilkada 2024 adalah tidak tepat dan keliru.

*Penulis adalah Rendra Edwar Fransisko, S.H,.M.H. dan Dr. Alauddin, S.H,.M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. Bengkulu