Pilkada 2020 Bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Sedunia, Berapa Kepala Daerah Terjerat?

HAKORDIA

Logo resmi Hari Anti Korupsi Sedunia, Poto: Dok

Interaktif News – Pilkada serentak 2020 kian berdinamika selain diselenggarakan di tengah wabah pandemi COVID-19 yang belum reda, hari pilkada serentak 2020 juga bertepatan dengan peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia(HAKORDIA). Sama-sama akan diselenggarakan pada Rabu, 9 Desember 2020. 

KPU sebelumnya menjadwalkan hari pilkada serentak 2020 jatuh pada 23 September 2020 lalu namun, tahapan pilkada tertunda lantaran Indonesia turut dilanda wabah COVID-19. KPU kemudian menjadwalkan ulang hingga hari pencobolosan terjadi bersamaan dengan peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia. 

Lantas berapa kepala daerah yang merupakan produk dari pilkada yang pernah terjerat kasus korupsi? Data KPK menyebutkan, sepanjang tahun 2005 hingga tahun 2019 atau sejak kepala daerah dipilih langsung melalui mekanisme pilkada, sebanyak 300 kepala daerah terjerat perkara korupsi. Diantara 300 kepala daerah itu, 128 kasus ditangani oleh KPK sendiri.

"Dalam catatan KPK sejak Pilkada Langsung diterapkan pada 2005, sudah 300 kepala daerah di Indonesia yang menjadi tersangka kasus korupsi, 124 diantaranya ditangani KPK" kata Ketua KPK Firli Bahuri di Lampung, Jumat (7/8/2020) dikutip kompas.com

Sedangkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, setidaknya 294 kepala daerah terjerat perkara korupsi. Data ICW didasarkan pada hasil pengumpulan informasi dan keterangan resmi dari institusi-institusi penegak hukum seperti, kepolisian, KPK, Kejaksaan dan putusan-putusan perkara korupsi. ICW juga mengelolah informasi dari sumber media massa. 

“Bisa saja kasus-kasus korupsi di daerah yang kami masyarakat sipil juga tidak tahu, apakah ada atau tidak tapi angka ini cukup tinggi, ada 294 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi kurang lebih sejak 9 tahun terakhir” kata peneliti ICW, Almas Ghaliya Putri Sjafrina, dalam meeting zoom, pada Kamis, 15 Oktober 2020 lalu.

Almas menyebutkan korupsi dan pilkada atau pemilu memiliki keterkaitan langsung yang disebakan banyak faktor diantaranya cost politik dalam pilkada yang sangat tinggi. Cost politic yang dimaksud meliputi pengeluaran biaya pilkada yang legal (biaya kampanye) dan biaya pilkada illegal seperti money politic, mahar parpol, suap penyelenggara bahkan untuk suap hakim. Cost politik tinggi inilah yang kemudian menjadi pemicu kepala daerah untuk melakukan korupsi.

Bengkulu, Pilkada, dan Hari Anti Korupsi Sedunia

Feri Vandalis salah seorang aktifis anti korupsi dari Bengkulu menyebut, momentum pilkada serentak tahun 2020 yang bertepatan dengan hari anti korupsi sedunia bisa saja dimaknai sebagai pertanda alam yang ingin memberikan warning kepada masyarakat tentang bahaya laten korupsi. Korelasi kejahatan korupsi dan pilkada kata Feri sangat lekat karena produk pilkada seperti gubernur, bupati dan wali kota adalah profesi yang sangat potensial untuk melakukan korupsi.

“Dari seluruh profesi yang melakukan praktek tindak pidana korupsi, pejabat kepala daerah seperti gubernur, bupati, wakil bupati dan wali kota berada diurutkan keempat sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Terbanyak ditempati oleh anggota DPR dan DPRD, selanjutnya PNS dan pihak swasta namun, yang perlu diingat mayoritas profesi itu saat melakukan korupsi juga berkaitan dengan jabatan kepala daerah. Artinya profesi itu sangat rentan untuk korupsi” jelasnya

Untuk itu sambung Feri, masyarakat harus melakukan screening yang ketat kepada calon-calon kepala daerah yang akan dipilih pada 9 Desember mendatang. Screening bisa dilakukan dengan cara memahami rekam jejak calon sehingga produk pilkada terutama di Bengkulu bisa meminimalisir potensi korupsi bagi kepala daerah. 

“Masyarakat yang harus cerdas karena sistem kita tidak melakukan filter yang kuat terhadap kemungkinan produk pilkada akan berakhir pada masalah korupsi. Provinsi Bengkulu saat ini menempati daerah urutan ke-10 kasus korupsi terbanyak dari 34 provinsi seluruh Indonesia. Kondisi ini sangat parah padahal jumlah penduduk kita berbanding terbalik dengan daerah-daerah lain yang perkara korupsinya rendah tapi kasus korupsi kita sangat tinggi” kata Feri

Untuk itu dia berharap, momentum hari anti korupsi sedunia yang akan diperingati bertepatan dengan hari pencobolosan pilkada harus relevan dengan komitmen masyarakat dalam memberantas korupsi. Masyarakat Bengkulu sambung  Feri harus menjadi pemilih cerdas sehingga pilkada serentak menjadi pilkada yang beringritas.

“Provinsi ini sudah memiliki citra buruk karena kasus korupsi. Sejak pilkada langsung, 3 dari 4 gubernur kita terjerumus perkara korupsi, Pak Agusrin korupsi, Junaidi Hamzah korupsi, terakhir Ridwan Mukti diciduk KPK. Demikian pula di tingkat kabupaten, ada 4 kepala daerah produk pilkada yang masuk bui karena korupsi” jelasnya  

Faktor lain tambah feri, dampak dari konflik kepentingan antara kepala daerah dengan para cukong sehingga ruang kekuasaan tidak lagi menjadi ruang publik tapi privat. Konflik kepentingan itu akan terjadi apabila status kepala daerah memiliki keterikatan dengan pelaku-pelaku bisnis skala besar di Bengkulu seperti sektor batu bara dan perkebunan.  

“Para cukong inilah yang akan menjadi pengendali ruang kekuasaan sehingga kepala daerah rawan untuk korupsi. Jangan sampai slogan publik yang sering mengatakan ‘lubuk kecik buaya banyak’ menjadi doktrin psikologis di tengah-tengah masyarakat sehingga kita menjadi toleran dengan pelaku korupsi” papar dia [RS]