PERDANA

PERDANA

PERDANA

Mataku adalah awalan yang diajarkan untuk belajar,
melihat konkret sandiwara yang padat episodenya
Mataku jendela jiwa yang masih samar meraba, 
terhalang sorot lampu benderang di dalam gelanggang.
Dan aku memulai perdana,
ketika kulihat bentuk sosok hawa, yang kupandang muka belakang
kiri kanan dan kutahu tentang cantik rupawan.
Tapi kugamang tentang cinta dan hati karena diriku belum mampu
berdiskusi tentang itu.
Kemudian, 
aku amati ini bangsa dengan sejuta satu persoalannya dan mulai mataku
tersaji soal kaya miskin, soal intrik dan politik, soal kuasa dan dikuasai, soal sosial, budaya, pendidikan, mental, akhlak, dan saat ini 
mataku melotot mulutku menganga di tahun politik.
Ternyata ada hajatan besar lima tahunan, 
kali ini aku masih gamang makna demokrasi.
Mataku adalah awalan,
tatkala kulihat anak-anak tak bersepatu sekolah 
hadir ditiap persimpangan jalan.
Berfestival solo song untuk merebut uang parkir para pengendara,
satu peristiwa lumrah akan nasib mereka.
Aku ragu untuk gamang, kuberikan satu lembar dua ribuan,
Imajinasiku coba selesaikan masalah.
Mataku adalah awalan,
melihat pasar dan pasar, dimana dulu tanganku takkan terlepas
dari daster ibuku, ketika bergerilya masuki lorong-lorongnya.
Namun kini tanganku hanya kugunakan untuk bersyukur, 
karena interaksi manusia masih terjaga di dalamnya.
Namun berbeda dengan pasar-pasar baru.
Aku juga melihat, lembaga pendidikan resmi yang berisi calon-calon
manusia masa depan, otak mereka diisi ilmu pasti dan tak pasti.
Mataku juga melihat bahwa masih banyak saudaraku 
yang belum kantongi kata layak tuk bisa bersekolah.
Guru-guru honorer diujung atau dibalik gunung sana 
yang menyeberang sungai bergelut lembah demi pengabdian,
tapi honor mereka selalu tertunda.
Maka aku gamang lagi dengan sebuah kebijakan.
Aku melihat tapi seolah tak boleh melihat tingkah polah para koruptor,
yang rakus syahwatnya akan harta, tahta, sesekali wanita.
Tak berkedip mataku ketika melihat gelintiran pemimpin rakyat unjuk gigi,
yang penuh basa basi berelektabilitas tinggi. Ruang kerjanya
jadi tempat angkat kaki, meja makannya ruang negosiasi, 
percakapannya adalah strategi 
dan menghasilkan kuitansi-kuitansi khayalan,
demi perkaya diri dan kroni.
Jujur aku gamang, tentang integritas.
Mataku juga terpana dengan peristiwa yang jadi tren pasar gelap
libido tingkat tinggi.
Aurat dipertontonkan layaknya manekin hidup, 
pergaulan sang bebas tanpa batas memperanakkan simpul dosa.
Sesama jenis kodrati saling mencinta, bercumbu 
dan junjung tinggi hak azazi.
Usia bukan masalah ada rupa ada harga.
Aku terperosok pada gamangnya sebuah akhlak.
Biji mataku juga saksikan devile pengangguran yang mengutuk nasib, ternyata lembaran ijazah tak mampu loloskan mereka 
pada mimpi masa depan.
Yakin ku gamang pada janjimu.
Mata ini teteskan airnya tatkala musibah dan bencana 
memilu sayap hatiku.
Teriakan tolong menggaung, suami ditinggal istri, bapak hilang anak,
anak hilang ibu dan terus merajut pilu.
Gempa bumi, banjir, tsunami, letusan gunung, hutan terpanggang,
longsor menimbun hingga jatuhnya siburung besi 
membuat menjadi-jadi air mata ini.
Aku gamang tentang nilai sebuah nyawa, kusapu air mata ini
dengan kain warna merah dan putih.
Aku berdoa untuk tidak melihat lagi, karena akan kucoba pahami
lalu mengerti bahwa hidup bukan sekedar mencari nasi 
namun jauh lebih dalam bicara peduli dan mencari solusi.


Puisi Karya Taufik Norodom S. Nov.2018