Menolak Mantan Napi Korupsi di Pilkada Bengkulu

Yulfiperius

Rektor Universitas Hazairin Bengkulu Dr. Ir. Yulfiperius, M.Si saat wawancara dengan reporter Bengkuluinteraktif.com di ruangan kerjanya, Kamis, 07 November 2019, Poto: Anasril Azwar

Seyogyanya mantan nara pidana korupsi tidak usah ikut pilkada karena kurang etis, Mirza Yasben Pengamat Politik Universitas Bengkulu 

Interaktif News –Komisi Pemilihan Umum terus mendorong agar UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada direvisi dengan mecantumkan larangan bagi mantan narapidana tindak pidana korupsi untuk maju di pilkada serentak 2020. Upaya KPU membersihkan pilkada dari jejak korupsi juga didukung lembaga pengawas pemilu (Bawaslu) dan kalangan penggiat anti korupsi. 

Sebelumnya, KPU pada pemilu serentak tahun lalu sudah melarang mantan napi korupsi untuk menjadi kontestan pemilu, KPU mengatur larangan itu melalui PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Namun usaha KPU ‘menjegal’ mantan napi korupsi digugat ke Mahkamah Agung (MA) hingga aturan yang dibuat KPU dibatalkan. Akibatnya pada pilkada serentak 2019 mantan napi korupsi kembali leluasa menjadi calon anggota DPR/DPRD dan beberapa diantaranya terpilih. 

Kini soal larangan manta napi korupsi di arena pemilu kembali hangat, aturan main pilkada serentak 2020 menjadi fokus larangan mantan napi korupsi untuk diterapkan. Kontroversi ini terus meluas dikalangan masyarakat tidak terkecual masyarakat Bengkulu yang juga akan menghadapi agenda pilkada serentak di 8 kabupaten dan pemilihan Gubernur. 

Seperti disampaikan Akademisi Universitas Bengkulu Drs Mirza Yasben, M.Soc.SC yang secara tegas menyampaikan penolakannya terhadap mantan napi korupsi kembali tampil di pilkada serentak 2020. Menurutnya, langkah yang dilakukan KPU bersama elemen masyarakat untuk melarang mantan napi korupsi menjadi kontestan pilkada sangat tepat. 

Mirza menilai apa yang dilakukan KPU sebelumnya dengan cara melarang mantan napi korupsi melalui PKPU juga tidak bisa dibenarkan karena tidak sesuai tatanan perundang-undangan. 

“Aturan ini sebenarnya sudah diterapkan KPU pada pemilu 2019 namun dibatalkan Mahkamah Agung karena itu memang bukan kewenangan KPU mereka itu user jadi tidak boleh mencantumkan syarat yang melampaui ketentuan diatasnya. Kalau KPU berupaya mendorong revisi UU pilkada saya kira itu sangat tepat dan benar menurut sistematika konstitusi kita” jelas Mirza, Kamis, (07/11/2019)

Lebih jauh Dosen Fisipol UNIB ini mengatakan, calon pemimpin harus memenuhi standar kepemimpinan publik salah satunya soal etika, Ia menyarankan agar mantan napi korupsi tidak ikut bertarung di pilkada karena kurang etis.  
 
“Andai kata di-pooling-kan pada masyarakat, apakah mantan napi itu boleh ikut Pilkada? Kemungkinan besar jawaban masyarakat mengatakan menolak” kata Mirza

Hal senada disampaikan Presiden Mahasiswa UMB Abdurahman Wachid menurutnya, DPR harus memprioritaskan agenda revisi UU pilkada dengan cara mencantumkan larangan bagi mantan napi korupsi maju pilkada serentak 2020. Presma UMB yang baru saja terpilih ini menyebut, larangan itu harus di-legitimate melalui UU agar kedudukannya lebih kuat.

“Isu ini memang menjadi konsen kita, belajar dari pemilu tahun lalu saat larangan itu cuma diatur di PKPU mudah sekali dianulir, langkah yang diambil KPU dan teman-teman penggiat anti korupsi yang mendorong revisi UU pilkada sangat tepat, kita tidak boleh memberikan ruang yang terlalu lebar bagi siapa saja yang pernah bersentuhan dengan korupsi. Saya pikir ini wajib diperjuangkan dan diedukasi ke seluruh masyarakat, jangan sampai dalam teori kita sepakat korupsi sebagai ekstra ordinary crime namun dalam praktek kita justru menganggap korupsi persoalan biasa saja” kata Wachid.

Ditambahkan Wachid, rakyat Indonesia baru saja di-soft theraphy dengan lolosnya revisi UU KPK yang kemudian berdampak pada suramnya agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu upaya mengembalikan trust publik itu lanjut Wachid, agenda besar pemberantasan korupsi harus diperkuat pada semua lini.

“KPK mungkin saja dilemahkan dengan revisi yang membabi buta itu tapi kita tidak boleh lengah, kami ingin mengajak bagi siapa saja yang ingin korupsi di negeri ini tuntas mari kita perkuat sistem yang lain, saya kira belum terlambat. Konsepnya begini, seluruh sektor itu berpotensi korupsi dan seluruh orang juga berpotensi korup untuk itu seluruh sektor harus kita bentengi dengan regulasi dan mental anti korupsi termasuk sistem pilkada” kata Wachid

Sudut pandang berbeda disampaikan Dr Ir Yulfiperius M.Si yang mengatakan, bahwa dirinya tidak setuju apabila aturan larangan bagi napi korupsi untuk maju pilkada itu melampaui aturan yang lebih tinggi diatasnya. Ini disampaikannya kepada reporter Bengkuluinteraktif.com pada Kamis, 07 November 2019.

"Jangan sampai rancangan UU itu melampaui UU dasar yang lebih tinggi diatasnya, UU dasarnya menjamin hak seseorang untuk berserikat, berorganisasi. Masa UU dibawahnya akan melampaui diatas itu, ya kalau dia melampaui saya tidak setuju yang demikian tapi sepanjang UU tidak melampaui yang lebih tinggi, kan hirarki hukum begitu" tegas Yulfiperius 

Menurut Rektor Unihaz ini, seluruh regulasi dihadirkan demi kebaikan bukan menyulitkan mungkin justru mempermudahkan, "Tapi aturan yang akan dibuat juga harus diperhatikan juga kan, kan dijamin UU hak seseorang jangan sampai hak-hak seseorang terbatasi juga dengan kita membuat UU, itu saja. Hak setiap individu untuk mencalonkan itu kan boleh-boleh saja jangan dibatasi," Jelas Yulfiperius

Yulfiperius justru mempertanyakan soal rencana revisi UU Pilkada ini karena sebelumnya tidak ada mencantumkan larangan mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri bahkan pernah diajukan namun ditolak oleh Mahkamah Agung. 

“Disini muncul pertanyaan, kok ditengah jalan tiba-tiba muncul diawal nggak ada, ini ada apa? harusnya dari awal ini sudah buat" tanya Yulfi

Namun demikian, Yulfiperius menyarankan semua pihak untuk menunggu saja keputusan aturan yang akan diberlakukan dalam gelaran pilkada serentak 2020. 

Reporter: Anasril Azwar
Editor: Riki Susanto