Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik

Mobil Listrik

Seorang Perempuan sedang mengisi ulang mobil listrik, Foto: Dok/Freepik

Membangun ekosistem kendaraan listrik di Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ekosistem ini tergolong mutakhir dalam jagat transportasi Indonesia. Tentu saja, terdapat tantangan yang begitu agam agar percepatan terbentuknya ekosistem ini dapat tercipta. Membangun ekosistem artinya mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru. Situasi ini tentu saja tidak bisa dibangun dalam perkiraan era setengah dasawarsa, bisa jadi lebih dari itu.

Namun, bukan hal yang musykil untuk menciptakan ekosistem gandaran listrik yang luas di Indonesia. Berdasarkan teori perubahan perilaku, kebiasaan lama dapat berubah menjadi kebiasaan baru. Jika berkaca pada teori Predisposing, Reinforcing and Enabling Constructs in Educational Diagnosis and Evaluation (PRECEDE), penjadian kebiasaan baru memerlukan banyak pendekatan yang holistik. Awalnya, teori ini digunakan untuk meminda kebiasaan yang berhubungan dengan kesehatan. Akan tetapi, teori ini juga sangat lazim bila diimplementasikan pada aspek penciptaan ekosistem kendaraan setrum di Indonesia.

Seperti diketahui, PRECEDE merupakan model perencanaan yang digunakan dalam kesehatan masyarakat untuk merancang, menerapkan dan mengevaluasi intervensi kesehatan. Namun, konsep ini juga mempengaruhi banyak bidang lain di luar kesehatan, terutama dalam ilmu manajemen dan kebijakan. Dapat dikatakan, konsep ini merupakan sebuah upaya dalam merekayasa sosial agar pemerintah atau pemangku kepentingan dapat mendesain kebijakan menjadi lebih efektif di masyarakat. Perlu diketahui bahwa rekayasa sosial adalah elemen terpenting dalam menciptakan sebuah tatanan baru, khususnya ekosistem baru di dalam masyarakat.

Rekayasa sosial dalam konsep PRECEDE merupakan integrasi yang masuk akal dalam percepatan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Di dalam konsepsi PRECEDE, terdapat tiga faktor yang perlu diubah di dalam masyarakat agar mereka dapat dengan cepat beralih ke ekosistem kendaraan listrik. Ketiga faktor tersebut adalah predisposisi (predisposing), penguat (reinforcing) dan pemungkin (enabling). Apabila ketiga faktor ini dapat terimplementasikan dengan baik, maka metode penciptaan rekayasa sosial dapat berjalan lancar.

Implementasi Predisposing Factors

Faktor predisposisi adalah faktor yang mempengaruhi motivasi atau kecenderungan individu untuk melakukan suatu perilaku. Dalam situasi ini adalah perilaku memakai kendaraan listrik. Pertama, hal yang perlu diubah berdasarkan faktor predisposisi ini adalah pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kendaraan listrik. Masyarakat luas tentu saja harus memiliki pengetahuan tentang manfaat kendaraan listrik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan konvensional berbahan bakar fosil. Kelebihan kendaraan listrik seperti dapat mengurangi polusi udara dan mampu menghemat biaya bahan bakar tentu saja harus benar-benar dipahami oleh masyarakat. Sebisa mungkin, sikap masyarakat tentang kepedulian terhadap lingkungan harus terpatri.

Proses internalisasi pengetahuan serta perubahan sikap ini dapat tercipta dengan pendidikan dan sebaran informasi. Pendidikan kepada masyarakat ini dapat dilakukan melalui kampanye edukasi oleh pemerintah, swasta, public figure hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengenai pentingnya kendaraan listrik dalam menjaga lingkungan dan kesehatan. Hal yang tak kalah pentingnya yaitu internalisasi informasi tentang insentif yang ditawarkan, seperti pembebasan pajak dan subsidi untuk pembelian kendaraan listrik. Langkah ini dilakukan agar masyarakat melihat benefit dari pembelian kendaraan listrik yang sangat banyak, dari segi biaya serta dampak bagi lingkungan.

Penegakan Reinforcing Factors

Bila faktor predisposisi menekankan pada aspek peningkatan kapasitas individu masyarakat, maka faktor penguat (reinforcing factors) lebih menekankan pada suatu hal yang di luar diri masyarakat. Faktor ini dapat berupa sistem sosial, kebijakan, hukum dan aturan lainnya yang berlaku. Faktor penguat ini adalah sebuah dorongan agar masyarakat lebih dapat direkayasa secara sosial menuju kondisi yang diinginkan. Tentu kita ingat ketika Covid-19 melanda dunia dan Indonesia pada tahun 2020 hingga 2021, masyarakat terbiasa dengan kehidupan normal baru atau biasa disebut new normal. Dengan berbagai “pemaksaan” dari luar, membuat program ini dapat tercipta. Sehingga, masyarakat patuh untuk memakai masker, vaksinasi, hingga memaksimalkan penggunaan teknologi digital.

Sedangkan dalam ranah ekosistem kendaraan listrik, reinforcing factors dapat berupa sistem dukungan sosial. Misalnya, pemerintah mendukung komunitas pengguna kendaraan listrik untuk diberi “panggung”. Komunitas tersebut diberikan hak menyebarkan informasi dan edukasi bagi masyarakat lainnya. Muaranya adalah pemerintah memberikan penghargaan dan pengakuan sosial bagi para pengguna kendaraan listrik. Dengan demikian, secara status sosial komunitas tersebut memiliki kelas di masyarakat.

Hal yang tak kalah penting lainnya yaitu dalam upaya membentuk regulasi. Untuk menciptakan percepatan iklim kendaraan listrik yang holistik, diperlukan kebijakan yang mendukung, seperti insentif fiskal, pembebasan pajak dan subsidi. Tentunya hal tersebut menjadi daya tarik bagi konsumen yang nantinya akan memakai. Sebagian besar masyarakat Indonesia begitu senang dengan benefit dan subsidi tersebut. Selain itu, perlu juga dibuat regulasi bagi daerah agar hanya boleh dilewati oleh kendaraan listrik. Konsepnya seperti kebijakan plat ganjil-genap, tapi diadaptasi khusus untuk kendaraan listrik.

Memaksimalkan Enabling Factors

Kedua faktor di atas akan lebih maksimal dalam membentuk rekayasa sosial apabila juga memaksimalkan enabling factors (faktor pemungkin). Enabling factors ini menekankan pada aspek ketersediaan infrastruktur penunjang dan aksesibilitas untuk mendapatkan kendaraan listrik. Dari sisi infrastruktur, hal yang perlu menjadi catatan adalah perlunya ketersediaan stasiun pengisian daya listrik di berbagai lokasi strategis. Kemudian juga perlu adanya pembangunan jaringan jalan yang mendukung penggunaan kendaraan listrik.

Sedangkan dari sisi aksesibilitas dan ketersediaan kendaraan juga harus dipenuhi. Masyarakat harus mendapatkan kemudahan akses untuk membeli dan memelihara kendaraan listrik tersebut. Intinya, product value kendaraan listrik harus lebih menguntungkan dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil. Selain itu, ketersediaan suku cadang dan layanan purna jual yang memadai juga menjadi daya tarik bagi konsumen. Berdasarkan riset dari berita yang beredar, beberapa masalah yang perlu ditangani oleh pemerintah terkait kendaraan listrik saat ini adalah peningkatan kualitas baterai. Maka dari itu, improvement ini harus ditindaklanjuti agar kendaraan listrik semakin diminati masyarakat.

Berdasarkan penelitian kualitatif deskriptif pada masyarakat, penulis mendapat kesimpulan bahwa ekosistem kendaraan listrik dapat digenjot apabila subsidi BBM dicabut. Maka dari itu, otomatis masyarakat akan cepat beralih ke kendaraan listrik. Selain itu, narasumber penelitian juga menyebut pentingnya kesiapan produksi kendaraan listrik, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Jangan sampai terjadi kelangkaan dan ketersediaan barang. Terakhir, tentu saja ekosistem ini akan berkembang pesat apabila harga kendaraan listrik kompetitif, kalau bisa harus lebih murah dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil.

Berdasarkan efektivitas dan manfaatnya, kendaraan listrik telah menunjukkan daya tarik yang signifikan bagi konsumen perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih cenderung memilih kendaraan yang ramah lingkungan dan efisien, serta memiliki perhatian lebih terhadap isu-isu kesehatan dan keberlanjutan. Oleh karena itu, ada potensi besar untuk memperkuat pasar kendaraan listrik dengan fokus pada segmentasi perempuan. Dalam konteks pemasaran, persona yang diangkat dalam kampanye iklan kendaraan listrik harus menonjolkan sosok perempuan untuk mencerminkan segmentasi pasar ini. Penggambaran perempuan sebagai pengguna utama dalam iklan tidak hanya akan menarik minat, tetapi juga memperkuat relevansi produk bagi target pasar.

Penulis: Dani Satria, Mahasiswa Magister Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Media Sosial Instagram: @danipromkes