Presiden Jokowi saat bertemu dengan Prabowo di Jakarta, Poto/Kompas

Dinamika politik boleh saja terjadi diantara Prabowo dan Presiden Jokowi dan itu wajar karena keduanya rival dalam pertaruangan kekuasaan. Cebong-Kampret hakekatnya bukanlah simbolik dari Jokowi-Prabowo. Alangkah naïf kita (Indonesia) kalaulah menyimbolkan keduanya dengan Cebong dan Kampret sebaliknya alangkah bermartabat kedua binatang itu seandainya  mewakili sosok Jokowi dan Prabowo. Mungkin juga Prabowo dan Jokowi tidak Ikhlas disimbol Cebong-Kampret dan sebaliknya Cebong-Kampret mungkin juga tidak nyaman diseret-seret ke arena politik. 

Entah kapan nama kedua binatang itu akrab disebut sebagai pendukung Jokowi dan Prabowo. Namun, kedua kosakata itu selalu lekat dengan keduanya dan mampu menjadi ikon dalam diskursus politik nasional. Uniknya, sebutan Cebong-Kampret lebih spesifik hanya berlaku pada bahasa sarkasme (media sosial) bukan dalam tataran ilmiah. Fahri Hamzah dan Fadli Zon tidak pernah meyebut pendukung Jokowi denga Cebong begitu juga Adian Napitupulu dan Budiman Sudjatmiko tidak pernah menyebut Kampret untuk lawan politiknya,forum resmi. 

Dua puluh tahun lalu, rezim Suharto yang dikenal denga Orba (Orde Baru) tumbang dengan kawanan kaum pergerakan yang identik dengan sebutan kaum Reformis. Akibatnya perseteruan Orba versus reformis terus menggelora hingga kini. Orba selalu menjadi senjata untuk membunuh argumentasi politik yang dinilai feodal dan otoriter. Demikian pula kaum reformis selalu menjadi mahkota bagi mereka yang mengaku moderat.

Lantas, apakah Suharto sebagai ikon Orba tidak pernah berdamai dengan ikon-ikon kaum reformis seperti Amien Rais, Gus Dur, Megawati, atau Sri Bintang Pamungkas. Jawabanya mereka telah berdamai, bahkan dalam berbagai momentum ikon-ikon Reformasi dan ikon-ikon Orba saling memuji. Namun, Orba dan Reformis tetaplah berlawanan dan mungkin sampai dengan satu dasawarsa mendatang.

Cebong-Kampret dan Orba-Reformis terkesan tidak apple to apple bila disanding karena ruang perseteruannya berbeda. Orba-Reformis adalah pergolakan kaum elit sedangkan Cebong-Kampret adalah perang Grafity diatas dinding dunia maya. Namun, Orba-Reformis boleh saja bermakna elitis akan tetapi Cebong-Kampret hakekatnya apa yang dikepala kaum elitis itu, Cebong-Kampret lebih mengakar karena menyentuh lapisan terbawah. Kedua perseteruan itu sama dalam tataran hakekat namun berbeda dalam makna teoritik.

Andaikan, tahun 1998 media sosial sehebat sekarang mungkin kosakata Kampret sudah terlebihdahulu diobral kaum penggugat kekuasaan dan kosakata Cebong menjadi tameng bagi mereka yang nyaman dengan otiriterianisme. Sayangnya rakyat baru akrab dengan android  lima tahun terakhir. 

Presiden Jokowi dan Prabowo boleh saja menyimbolkan berdamai namun melisankan ketiadaaan Cebong dan Kampret bukanlah statmen yang tepat walaupun keduanya ikon dari kedua kosakata itu. Cebong-Kampret dalam makna filosfis adalah penggugat kekuasaan versus penikmat kekuasaan yang lalai dan bisa saja terjadi tanpa Jokowi dan Prabowo, jangan rasa-rasa.

Redaksi