Warga Sawah Lebar Baru, Kota Bengkulu saat mengangkut barang akibat terdampak banjir, Foto: Dok

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Provinsi Bengkulu sore tadi Minggu, 28 April 2019 baru saja merilis korban banjir yang melanda hampir di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu. Dalam risilinya BNPB menyebut 15 orang meninggal dunia, 7 orang masih dalam pencarian, 4 orang mengalami luka-luka. Data itu belum ditambah korban ternak mencapai 211 ekor yang kemudian dilengkapi estimasi kerugian akibat banjir mencapai 138 miliar lebih. 

Miris memang, BNPB juga menyebut 12 ribu orang lebih mengungsi dan 3.880 jiwa terkena dampak banjir. Data itu juga disertai dengan  84 rumah mengalami kerusakan, 4 unit fasilitas pendidikan rusak parah, dan 40 titik infrastruktur mengalami kerusakan/terendam beluma lagi fasilitas perikanan yang juga dikabarkan menjadi korban. Namun, informasi yang berkembang di masyarakat korban jiwa dan kerugian bisa melebihi apa yang diungkap BNPB. 

Lantas bagaimana reaksi pemerintah daerah? Pemprov maupun pemkot/pemda yang mengalami dampak banjir. Sejauh ini, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah sudah mengucapkan turut berbela sungkawa atas becana dan terlihat tampil saat press conference yang digelar BNPB plus baru saja Gubernur Rohidin membuat pernyataan Bengkulu darurat bencana!

Seirama dengan Gubernur, Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan juga mengucap belasungkawa melalui video singkat yang beredar di masyarakat. Reaksi Wali Kota Helmi juga diikuti dengan Wawali Dedy Wahyudi yang terjun langsung meninjau banjir Kota Bengkulu, walaupun sempat terbentang panflet wali kota dimana?

Kedua pimpinan itu kompak turut memberikan bantuan berupa sembako, pakaian, obat-obatan, dan bantuan lain yang bersifat antisipasi jangak pendek, mendesak.

Lantas apakah itu tak benar? Tentu saja tidak bahkan itu bisa disebut mulia sebagai sesama insan manusia. Namun, menjadi soal karena kedua pimpinan daerah itu yang sama sekali tidak menyebut ‘masa depan’

Pemimpin kita masih berkutat dengan angka-angka matematis, berapa dus mie instan tersalur, berapa lembar pakaian disebar, berapa ton beras dibagi, berapa kilo minyak goreng tersalur, dan berapa-berapa lain yang bisa diucapkan siapapun di muka bumi ini. Para pemimpin kita kehilangan diskursus kepemimpinan yang tugas utamnya menjamin keberlangsungan hidup dan kehidupan masyarakat 

Mereka (masyarakat) butuh pernyataan para pemimpin, bagaimana mereka mampu memberikan harapan masa depan mereka dan anak-anak mereka 20 tahun bahkan 50 tahun mendatang. Mereka merisaukan saat kembali dari pengungsian bukan saat pergi meninggalkan rumah, mereka gelisah dengan musim hujan tahun depan dan tahun depanya lagi. 

Sayangnya itu tak terungkap dan terniat apalagi ter-lisan. Pemimpin kita sibuk menghitung amunisi bencana hari ini namun lupa bagaimana masa depan. Masyarakat butuh pernyataan dari para pemegang amanah “Ok tahun  ini, kita bangun bendung, Situ, Kolam, tolong tim perencanaan segera buat master plan, DPR tolong alokasikan dana, tahun ini kita eksekusi” atau entah apalah namanya yang terpenting bermakna bahwa air yang datang hari ini tak akan lagi menyentuh teras-teras rumah mereka di masa depan.

Bung Karno pernah berucap, pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang mampu membawa alam berpikir rakyatnya di masa depan bukan apa yang terjadi sekarang. Demikian pula dengan bencana banjir yang melanda masyarakat Bengkulu hari ini, gubernur, wali kota, bupati harus melantunkan ‘puisi’ masa depan bukan menghitung jumlah mie instan. 

Redaksi