Interaktif News — Kasus dugaan pemalsuan data pencalonan anggota DPRD Kota Bengkulu dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), M. Rizaldy, kini terus bergulir di Polda Bengkulu.

Kasus ini bermula dari laporan Ribtazul Suhri, pada 5 Agustus 2025, yang menduga bahwa M Rizaldi telah melakukan pemalsuan dokumen pencalonan calon legislatif DPRD Kota Bengkulu.

Zalman Putra, SH., MH, selaku Kuasa hukum Ribtazul, mengungkapkan bahwa penyidik telah memanggil beberapa saksi dan ahli untuk memastikan apakah tindakan Rizaldy dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

Selain itu, kata Zalman, saat ini penyidik masih membutuhkan lebih banyak saksi dan ahli untuk memperkuat dugaan pemalsuan tersebut.

“Penyidik membutuhkan lebih banyak saksi dan ahli untuk memastikan apakah tindakan ini tergolong tindak pidana,” kata Zalman usai mendatangi Direktorat Kriminal Umum Polda Bengkulu, Rabu (5/11/2025).

Rizaldy diduga menyembunyikan riwayat hukuman terkait kasus kecelakaan lalu lintas yang telah dijalani pada tahun 2021. Dalam dokumen pencalonannya, Rizaldy disebut melampirkan Keputusan Pengadilan Negeri Bengkulu yang menyatakan bahwa dirinya tidak pernah terlibat tindak pidana.

“Rizaldy melampirkan dokumen yang menyatakan dirinya tidak pernah dipidana, padahal dia sudah terbukti pernah menjalani hukuman,” ungkap Zalman.

Sebelumnya Rizaldy mengklaim keluarnya Surat Keputusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor 269/SK/HK/05/2023/PN BKL tentang pernyataan tidak pernah melakukan tindak pidana itu karena ia tidak pernah melakukan pidana di wilayah hukum Bengkulu.

“Saya tidak pernah terpidana di wilayah hukum Bengkulu. Memang saya pernah dipidana, tetapi itu di wilayah hukum Sumatera Selatan,” ujarnya melalui sambungan telepon, Jumat (8/8/2025).

Namun dilain kesempatan Bidang Hukum dan Humas PN Bengkulu, Evi Wulandari menyatakan status terpidana akan melekat seumur hidup pada seseorang, kecuali ada putusan pengadilan yang membatalkannya.

“Dengan demikian, meski berada di wilayah manapun, status hukum pidana bagi seseorang tetap berlaku,” kata Evi, Selasa, (19/8/25) lalu.

“Pokoknya selama seseorang pernah dipidana dan menjalani pidananya, maka statusnya tetap pernah terpidana, di mana pun ia berada di Indonesia,” sambung Evi.

Hal itu juga diperkuta Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Bengkulu (Unib), Prof. Dr. Herlambang, SH, MH yang menegaskan bahwa putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum yang berlaku secara nasional.

Konsekuensinya, kata dia, status seseorang sebagai mantan narapidana (napi) tidak serta-merta dapat dihapus, meski ia telah menyelesaikan seluruh masa hukumannya.

“Namanya putusan pengadilan berlaku di seluruh Indonesia. Artinya, status seseorang sebagai mantan narapidana otomatis berlaku di mana pun di wilayah hukum Indonesia,” ujarnya singkat, [Rls]