Jalan Terjal Aktifis Bengkulu

'

Editorial kami sebelumnya berjudul “Jaminana Ketersedian Parlemen Muda Pemilu 2019” mengulas tentang ekspektasi publik yang merindukan parlemen yang dinamis. Kata ‘muda’ tidak hanya mewakili dikotomi generasi politik namun lebih dari itu ‘muda’ yang dimaksud adalah kecendrungan untuk krtitis, anti mengangguk, dan berwawasan masa depan, idelanya parlemen. 

KPU Provinsi Bengkulu pada jumat 10 Mei 2019 baru saja mengetuk palu hasil rekapitulasi perolehan suara pemilu 2019 di tingkat Provinsi Bengkulu. Ketukan palu itu sekaligus penanda gambaran 5 tahun komposisi parlemen di Provinsi Bengkulu baik untuk DPR RI, DPD, DPDRD Prov, DPDR Kab/Kota. 

Ketukan palu KPU itu meninggalkan catatan bagi kalangan aktifis Bengkulu, mereka dihadapkan dengan kompleksitas demokrasi yang berujung pada terhentinya langkah menuju kekuasaan. Komposisi parlemen Bengkulu tidak banyak berubah, kerinduan akan dinamika parlemen pun pupus. Nama-nama kritis yang diharap menjadi penyambung aspirasi, pengimbang kekuasaan justru tertinggal di tengah jalan. 

Sebut saja  Achmad Tarmizi Gumay, Zacky Antoni, Feri Sapran Edi, Aurego Jaya (DPRD Provinsi). Emilia Puspita dan Barlian (DPD RI), Antonio Imanda, Yogianto, Heru Saputra, Yusliadi (DPRD Kab/Kota) yang tanpa parleman sekalipun mereka selalu tampil sebagai kontrol kekuasaan dalam kapasitasnya masing-masing.

Mungkin benar apa yang diucap Feri Sapran Edi, “Kekuasaan dalam Demokrasi Harus Direbut dengan Kekuasaan” Kalimat itu terkesan kontradiksi karena prinsip demokrasi yang seluas-luasnya untuk rakyat, tanpa pandang kasta. Namun, melihat fakta politik hari ini, prinsip demokrasi justru antitesa dengan fakta-fakta empirik dalam arena kekuasaan. Kalimat itu bisa juga berarti benar karena “kekuasaan’ yang dimaksud adalah afiliasi dengan penguasa dan kekuatan basis ekonomi.  

Nama-nama aktifis Bengkulu diatas bukanlah deret nama yang dekat dengan kekuasaan (ekonomi politik) namun mereka selalau lekat dengan aspirasi rakyat tapi mereka gagal dalam politik kekuasaan, entah apa sebab?

Memang tidaklah baik berkesimpulan diawal namun politik bukanlah matematik yang runut tanpa bisa diasumsi. Dalam matematika, simbol ‘sama dengan’ tidak mungkin muncul tanpa didahuli simbol ‘tambah kurang’ atau ‘bagi kali’ namun, dalam politik tidaklah demikian. 

Editorial ini bukan pula bermaksud mengukur kapasitas mereka yang menempuh jalan mulus menuju kekuasaan namun sebuah catatan demokrasi kita yang sempit bagi kaum yang hanya ‘punya lidah tanpa rasa’.

Mereka, Aktifis Bengkulu atau apalah namanya, yang jelas selama ini mereka menjadi penghias diskursus politik kita, gigit jari disaat jalan mulai terjal. 

Redaksi